SELAMAT DATANG!

Welkom! Wellcom!!benvenuto!willkommen!Bienvenue!!
Semua kata diatas berarti SELAMAT DATANG! dari Indonesia.
Semoga kalian-kalian yang mengunjungi blog ini akan merasa nyaman dan nggak pulang pulang kaya Bang Toyib, atau malah kesasar Nyari Alamat Palsu kaya Ayu Ting-Ting,,,,,,,
"DON'T COPAS PLEASE!!! TRY TO BE HONEST GUYS!!"
Semoga betah dan nggak kapok mampirr. :D

Sunday, May 27, 2012

PARIS


:)

My New short story,,
Enjoy IT!!


Cintaku padamu dan Paris berbeda.
Aku mencintaimu seperti aku membutuhkan udara, tanpamu aku tidak bisa hidup. Mati.

Cintaku pada Paris seperti aku membutuhkan surga dan neraka, tanpanya aku tanpa arah, tanpa tujuan, dan akhirnya mati dalam kesia-siaan.


Bukankah kamu sudah tau ini semua? Kamu sangat tahu bagaimana aku begitu memujamu, tapi mengapa kamu masih menyuruhku memilih antara kamu dan Paris?

"Dila,, dilaa... Dil?? Hei?" suara Tania mengagetkanku.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, wajahnya terlihat khawatir.

Aku hanya menggeleng dan tesenyum. "Aku baik-baik aja, lagi pusing mikir kerjaan"

Dia mengangguk "Kalo kamu ada masalah, ngomong ya?" lalu dia pamit, wajahnya masih terlihat khawatir, aku mengangguk. Mungkin Tania tidak memercayaiku, tapi dia mencoba percaya. Dia sahabatku.

Aku menghela napas kemudian mengedarkan pandangan ke sekitarku. Aku sedang berada di kubikel kerjaku yang semua perabot dan peralatannya berhubungan dengan Paris, khususnya Eiffel.

Vas bunga bergambar menara Eiffel, frame berbentuk Eiffel yang berisi fotoku dan sahabat-sahabatku, foto Paris dengan sungai Seinenya yang menakjubkan, sebagian besar kubeli dan kucari di Indonesia, tapi ada sebagian yang asli dari Paris hasil oleh-oleh dari teman dan dia. Aku melirik kalung dengan bandul Eiffel yang menggantung di leherku, pemberiannya setahun yang lalu. Suatu hari jika aku bisa ke kota cahaya itu, aku tidak perlu sampai berkeliling Perancis, Paris lebih dari cukup. Kota dengan semboyan fluctuat nec mergitur (diterjang gelombang ia tak tenggelam). Paris yang itu, Paris  yang ada di film Eiffel I'm in Love. Paris yang merupakan kota terbesar di Perancis, Paris kota cahaya. Paris, impianku. Aku ingin hidup satu bulan di sana, bukan hanya singgah. Aku ingin tinggal, meresapi setiap detik di kota ini bersamanya, menyimpan aroma Paris, tapi dengan kesibukan dan pekerjaan kami di kantor, aku tidak yakin. Aku sudah menabung beberapa tahun ini,untuk pergi ke Paris, mungkin bersamanya. Atau tidak.
***
"Assalamualaikum" ucapku saat membuka pintu rumah, tentu saja tidak ada orang. Ayah dan Ibu tinggal di Bali. Jadi aku tinggal sendiri kecuali kalau dia menginap karena menghawatirkanku yang tinggal sendiri, tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat atau tidak lagi selamanya. Aku tidak mengharapkan ini, aku mengharapkan dia tetap di sini memelukku saat kami menonton DVD, bersama memasak mie instan tengah malam, menyelimutinya karena harus tidur di sofa saat menginap, atau kalau dia tidak malas akan memasakkanku makan malam. Aku tidak bisa memasak, hal yang sangat disukainya.

"Aku suka kamu yang nggak bisa masak, satu-satunya hal yang aku bisa menangkan" Cara berpikir yang sangat konyol, aku begitu memujanya. Dia setampan dewa Yunani bagiku dan sangat cerdas, tapi dia selalu menganggapku berlebihan.

"Oke! Anggap saja kamu benar, tapi kamu lebih. Kamu bisa memilih barang apapun yang tepat buat aku, kamu mengurusku, menasehatiku, mengerti aku. Kamu satu-satunya orang yang membuatku berhenti mencari, kamu tujuanku. Kamu tahu apa yang membuatku sangat kalah dari kamu? Aku tidak bisa melakukan apapun tanpa kamu. Jadi kamu masih menganggap aku lebih hebat?" Aku saat itu hanya bisa terpaku, kini aku jadi memikirkan, bagaimana dia tanpa aku? Bagaimana tidurnya? Dia sering mengalami insomnia. Bagaimana makannya? Apa teratur? Dia suka melupakan makan saat sibuk bekerja. Hhh.. Apa yang baru saja kupikirkan?

Kami seminggu yang lalu bertengkar karena dia cemburu pada Paris, impianku, satu lagi kekonyolannya. Aku akan melakukan apa saja demi bisa ke Paris dan menghadirkan lebih banyak Paris di sekitarku. Aku ingin lebih dekat dengan Paris, tapi pakah dia tidak tahu, bahwa aku tetap lebih menginginkannya.

"Kamu tahu? Aku ingin sekali jalan-jalan dengan kereta di sana, Gare du Nord. Stasiun simbol Revolusi Industri yang lebih mirip katedral di abad 19"
"Di abad 19 juga dibangun Eiffel, peringatan revolusi Perancis. Menara tertinggi di dunia sampai tahun 1930" Dia hanya mengangguk, tidak seperti biasanya. Biasanya saat mendengarku mengoceh panjang tidak jelas mengenai Paris dia akan memelukku erat, menyembunyikan wajahku di dadanya, agar aku berhenti bicara atau malah mengecup hidungku, perbuatan yang biasanya membuatku terdiam dan memerahkan wajahku. "Kamu kenapa?" tanyaku sambil menggenggam tangannya.

Dia menatapku, tiba-tiba hatiku terasa perih, tatapannya menyakitkan. Lembut,  tapi menyesakkan "Aku tidak bisa, aku berhenti" Dia mencoba bangkit, tapi kutahan.

"Berhenti apa? Kenapa?"

"Aku tidak bisa hidup dengan orang yang hidupnya hanya terpaku pada hal tertentu dan sangat memujanya. Aku nggak bakal bisa menang dari Paris, walaupun aku punya nama yang sama, Paris. Tapi aku tidak yakin bisa menang dari Parismu itu" Ya, namanya Paris, sama dengan nama cita-cita dan mimpiku.

"Kamu bicara apa? Kamu dan Paris itu berbeda. Aku cinta kamu, selalu" Dia kelihatan menahan emosi, dia sudah bersamaku dua tahun, apa itu belum cukup? Apa dia masih belum mengerti?

"Lihat! Semua barang di rumahmu, di kantormu, bahkan di mobilmu. Semuanya berhubungan dengan Paris, lalu apa gunanya ada aku? Aku tidak bisa menang melawan kota cahaya, karena sinarku tidak sampai seperseratusnya, bahkan seperjutanya. Aku tidak akan mendapat tempat disana, dihatimu, karena yang kamu butuhkan bukan Pariska Wisnu Adilaga, tapi Paris yang jauh itu, yang letaknya di 48° lebih Lintang Utara dan 2° sekian Bujur Timur, yang mendapatkan julukan La Ville lumière (kota cahaya). Lihat, aku hapal diluar kepala apa yang kamu katakan tentang Paris, tapi pernah kamu mengatakan sesuatu tentangku? Aku tidak percaya mengatakan ini, tapi aku cemburu pada Parismu" Kalau saja dia tahu betapa seringnya aku memikirkannya, dia tidak akan berani bertanya.

"Kamu sudah selesai?" dia bergeming "Kamu sudah selesai?" suaraku meninggi, dia masih diam "Aku tanya, kamu sudah selesai?" aku bertahan untuk tidak mencakarnya "Kamu bertanya apa kamu berarti untukku? Aku jawab sangat! Sangat Ris, Paris! Kenapa kamu masih mempertanyakannya?" Aku menghapus air mataku, kenapa air mata sialan ini malah keluar? "Kamu kan yang mengenalkanku pada Paris? Kamu yang membawaku pada cinta Paris ini"

"Aku tahu, tapi Aku menyerah, Aku menyerah, maaf aku sudah tidak bisa menemanimu, bersamamu, mengerti kamu tentang Paris" Apa yang dia bilang? Dia jelas tidak tahu. Setelah mengatakannya dia beranjak pergi, membuka pintu dan sampai sekarang tidak kembali untuk membuka pintu itu lagi, tanpa menunggu jawabanku yang ditinggalkan dalam tangis.

Aku memang sangat terobsesi pada Paris, dia mengenalkanku pada Paris saat dia membawakanku oleh-oleh dari sana, sebuah mug berwarna putih. Setelah itu aku jadi gila semua hal tentang Paris. Dia pernah mengajakku berlibur ke Paris, mengingat gajinya yang lebih berlipat daripada gajiku, tapi kutolak. Paris adalah tujuanku, cita-citaku, aku ingin meraihnya sendiri.

Aku sudah berulangkali berpikir, apa yang harus kulakukan sekarang? Saat dia berkata tidak bisa melakukan apapun tanpaku, aku pun bukan apa-apa tanpanya. Dia sekarang pergi karena cemburu pada Paris, hal yang menurutku konyol. Aku memang sedikit agak terobsesi pada Paris dengan semua benda di sekitarku berasal atau berbau Paris, hanya itu. Lalu apa lagi sekarang? Aku marah padanya, itu sudah pasti. Setelah berpikir satu minggu ini, aku memutuskan sesuatu, kalau dia cemburu pada Paris, akan kubuktikan bahwa Paris bukan apa-apa, bahwa dia salah.

Aku akan ke Paris!
***
Aku menghela napas sebelum mengetuk pintu ruangan Bosku "Masuk" Aku membuka pintu dengan hati-hati, kemudian tersenyum pada perempuan sebaya tanteku itu. "Ada apa Dil?" tanyanya seperti biasa. Aku duduk dengan tidak nyaman, mencengkeram amplop putih -surat pengunduran diriku- gugup.

Aku mencoba mengatur napasku, ini keputusan terbesar dalam hidupku, bahkan lebih besar dari saat aku memutuskan kuliah desain dan keluar dari Fakultas Kedokteran, itu bukan jiwaku. "Saya ingin menundurkan diri"

***
Sekarang aku sudah berada di bandara, menanti keberangkatanku, sendiri. Pengunduran diriku diterima, walaupun agak sulit, tapi akhirnya lolos. Ayah dan Ibu tahu kalau aku sudah keluar dari perusahaan itu, mereka menerimanya dengan iklas, mereka menganggapku dewasa. Tania sering mengunjungiku seminggu ini, dia sangat mengecam keputusanku. Tapi dia tidak memaksa, ini hidupku, aku yang menentukan.

Sebelum pergi tadi aku ke apartemennya, menitipkan surat pada satpam. Aku ingin berpamitan, rasanya aku akan menangis lagi.

Kepadamu, Paris yang sangat aku cintai

Kamu tahu, sejak kapan aku menyukai Paris? Jawabannya sejak kamu memberikanku mug dari Paris
Sejak itu untuk pertamakali aku sadar aku menyukaimu

Kamu tahu sejak kapan aku mencintai Paris? Jawabannya, sejak kamu mulai mencintaiku

Kamu tahu sejak kapan aku begitu terobsesi pada Paris? Jawabannya sejak kamu menjadi milikku

Jadi apa alasanmu cemburu? Apa alasanmu menyerah? Apa yang membuatmu menyerah? Apa yang membuatmu berpikir untuk menyerah?

Aku sangat berterimakasih pada Paris, karena dia yang mengantarkanmu padaku, melalui mug putih itu.

Aku begitu memuja Paris karena namanya sama sepertimu, orang yang aku puja

Aku sangat mencintai Paris, tapi aku lebih mencintaimu Paris. Kamu alasanku menyukai, mencintai, dan terobsesi pada Paris.

Aku menolakmu untuk ke Paris, karena aku ingin meraih Paris dengan tanganku sendiri, seperti aku meraihmu.

Tanpamu, Paris bukan apa-apa. Paris, akan selamanya dicintai karena Paris (kamu).

Dan akhirnya sekarang aku sedang meraih Paris, aku pergi.

                                Dari, Seseorang yang begitu mencintai Paris, karena Paris.

Aku menangis untuk kesekian kalinya saat mencoba menulis surat itu, berlembar-lembar kertas kubuang karena air mataku menetes di atasnya, Paris? Apa ini yang kamu inginkan? Aku mulai membencimu? Kurasa tidak bisa!!!!

Terdengar panggilan, pesawatku akan segera tinggal landas, aku menoleh ke belakang. Berharap dia di sana, menjemputku, menyeretku pulang seperti di sinetron Indonesia. Tapi dia tetap tidak di sana, dengan menelan kekecewaan aku kemudian berjalan masuk untuk bertemu Paris yang lain. Sepertinya sudah berakhir, aku segera menghapus air mataku dan berjalan tergesa- gesa menuju pesawat. Ini yang terakhir, ini air mata terakhir untukmu Paris. Janjiku.
***
Arghhhhh

Aku ingin pulang!!
Aku sudah tidak tahan di sini!!!
Aku sungguh konyol! Sama konyolnya dengan Paris, dia cemburu pada suatu tempat sedangkan aku konyol karena pergi ke Paris untuk membuktikan padanya bahwa dia salah. Satu-satunya hal yang membuatku sesak adalah, aku harus menahan diri untuk tidak menangis selama di Paris, tapi janjiku itu sangat sulit untuk dilakukan. Sepertinya Paris juga menyesuaikan susasana hatiku. Salju yang biasanya sangat jarang turun, kadang muncul pada bulan terdingin Januari atau Februari, sekarang muncul hampir setiap hari di bulan kedua ini.

Satu pengalaman penting yang aku petik, jangan berlibur dengan cuaca yang sangat menggigit seperti ini. Aku sudah seminggu berada di Paris dan kesanku adalah bosan! Entah mengapa, aku sudah pergi ke Avenue des Champs-Elysées, taman abad ke-17 yang diubah menjadi jalan. Salah satu atraksi turis dan jalan perbelanjaan besar di Paris. la plus belle avenue du monde "jalan terindah di dunia". Menjelajah Avenue Montaigne sampai Musée du Louvre, tapi aku tidak menemukan apa yang kucari. Aku malah tidak bisa berhenti memikirkan Paris yang kutinggal di Indonesia. Pelukan hangatnya atau ucapan selamat paginya. Arghh! Aku menyesali ini. Aku sekarang sedang duduk di kursi taman apartemen sepupuku, Veya, sambil merapatkan mantel dan membetulkan syal. Veya kuliah di sini, tapi sekarang sedang pulang ke Indonesia.

Hatciiii!
Lamunanku buyar saat mendengar orang bersin, aku baru sadar udara sangat dingin, tubuhku rasanya sudah membeku. Aku bangkit dan untuk pulang, tapi dengan cepat aku berbalik lagi.  Hening yang menyesakkan menyerangku karena melihatnya, "Kamu?" Aku akhirnya bisa mengeluarkan suara. Dia berdiri di sana dengan mantel biru tua dan syal, memandangku dengan tatapan yang kurindukan. Dia berjalan mendekat dengan perlahan, seakan takut aku akan lari. Aku sendiri hanya diam di tempat, menunggunya melakukan sesuatu atau mungkin mengatakan sesuatu. Aku mulai frustrasi dan kedinginan menunggunya melakukan sesuatu, mungkin dia memang tidak akan melakukan apapun. Aku menyerah, berbalik, aku hanya ingin mengurung diri di kamar. Cepat-cepat aku berjalan menghindarinya, tapi aku tersentak karena tarikan dari belakang, begitu sadar aku sudah berada dalam suatu pelukan ketat seseorang berbahu kokoh dan berdada bidang. Aku sulit bernapas, selain karena sosok orang yang memelukku, pelukannya memang sangat erat, seperti ingin meremukkan tubuhku. Kudengar napasnya yang memburu di telingaku, dadanya berdegup kencang.

“Jangan lari,, jangan lari lagi” Suaranya sangat lirih, tapi semakin lama terdengar menggema dalam hatiku. “Aku baca surat kamu, jadi seperti itu? Semua tentang Paris itu karena aku?" aku mengangguk lemah "Aku nggak bisa jauh dari kamu, rasanya seperti kehilangan satu paru-paruku, sesak!” Aku sudah ingin menangis, berontak

“Kalau kamu merasa sesak, kenapa melepaskanku?”

“Karena sepertinya aku menghalangimu, aku hanya ganjalanmu untuk ke Paris. Kamu nggak pernah mau ke Paris sama aku. Aku merasa Paris hanya untukmu, bukan kita. Tapi aku sadar, apapun yang kamu perlukan, aku rela jadi apa saja, bahkan walaupun aku hanya akan menjadi bayangan Paris. Akhirnya aku menyusulmu” Aku sudah tidak kuat membendung air mata, sebegitu cintanyakah dia padaku sampai berpikir seperti itu? Aku mencoba melepaskan diri dan akhirnya dia melepas kurungannya.
"Sebenarnya ini arti kamu bagi aku" aku menarik wajahnya mendekat, memulai dengan kecupan kecil di bibirnya yang beku, aku membujuknya, merayunya untuk membalas ciumanku.

Aku begitu mencintaimu, rasakan melalui ciuman ini. Aku ingin merasakanmu, berbagi rasa, juga cerita, dan emosi. Aku begitu menyayangimu, tidakkah kau merasakannya melalui kecupan-kecupan lembut pada bibirmu? Aku begitu memujamu, tidakkah kau menyadari lewat kecupanmu yang kubalas sepenuh hati?

Aku begitu mencintaimu!!!

***
Dan di sinilah kami sekarang, setelah sesi ciuman panas di taman super beku apartemen Veya. Kami saling menghangatkan, berpelukan di sofa ruang tamu Veya, dihadapan perapian. Memang orang Indonesia, walaupun sudah di luar negeri sakitnya tidak jauh-jauh dari flu dan masuk angin. Kami sudah minum obat, berselimut tebal, dan sudah meminum cokelat panas, tapi tetap saja rasanya seperti berada di dalam lemari es. Kurasakan kecupannya di dahiku, aku menoleh sambil tersenyum, Akhirnya pengertiannya datang juga, apa aku memang harus nekat begini agar dia percaya begitu besar aku mencintainya? Bisa bangkrut aku!

"Lagi mikir apa?" dia berbisik lembut di telingaku, aku menjawab dengan mengeratkan pelukanku padanya.

"Kamu,,,"

"Aku? Kenapa dipikirin? Aku ada di sini? Just feel it" dia menggodaku.

Aku langsung mencubit pinggangnya, "Dasar!! Sekarang aja bisa begini, kemarin? Ketemu aja nggak mau, bisanya membuat orang menangis aja" Dia langsung ngambek, hahaha,, aku langsung menghadiahinya kecupan singkat di bibir, tau aku hanya menggodanya balik, dia tersenyum lagi.

"Kamu tau?? Aku punya berita baik" Senyumnya manis sekali, aku mendongak melihat matanya yang berbinar.

"Apa?"

"Ehmmm,,, tapi sebelumnya aku akan menanyakan sesuatu. Berita yang akan aku sampaikan nanti tergantung keputusan kamu sekarang" tiba-tiba dia berubah gugup, aku jadi penasaran. Dia menjauhkan tubuhnya dariku, aku sudah ingin protes, tapi tindakan selanjutnya membuatku bungkam. "Mau menjadikanku pendamping hidup kamu, selamanya?" aku menutup mulut tidak percaya, dia berlutut, turun dari sofa,  mengeluarkan kotak cincin dari saku mantelnya.

Apa yang baru dia katakan? Tentu saja "Iyaaa, mau,, mau" aku dengan terbata-bata menjawab lamarannya. Dia langsung bangkit, memasangkan cincinnya di jari manisku, dan menyerangku dengan ciuman-ciumannya.

"Thank you, honey, thank you" Katanya terus menerus, aku tentu hanya bisa mengangguk, aku sudah tidak bisa berkata apapun. "Sekarang waktunya berita utama"

Aku mengernyit bingung, "Bukannya berita utamanya kamu ngelamar aku?"

Dia menggeleng "Itu pembukanya saja, sekarang main course nya" dia mengedip nakal "Take a breath, Aku dipindahkan dinas ke Paris" aku masih terdiam beberapa detik kemudian berseru,,

"What??"

"Kenapa? Kukira kamu bakal senang?"

"Tentu saja aku senang, congrats babe, i proud of you. Tapi ..."

"Kenapa?"

"Bagaimana dengan kita? Aku.. Aku akan sangat merindukanmu" aku mencoba menahan isakanku, aku baru saja mendapatkannya kembali.

"Apa maksudmu? Heii,, heii,, dengerin aku dulu. Jangan nangis" dia mengusap air mata di pipiku "I said that, It depends on your decision. Tergantung keputusan kamu, kamu bilang mau nikah sama aku,, so I'll take it" aku menatapnya tidak percaya, "Kita akan tinggal di sini setelah menikah, lebih mudah lagi karena kamu udah nggak kerja. Aku menerima Paris, karena memang ini kota yang kamu suka. Seminggu aku nggak ketemu kamu ya buat ini, aku menebak-nebak, apa kamu masih nolak aku kalau aku ajak nikah dan kita hidup di sini?"

Aku masih menggeleng-gelengkan kepala, "Kalau aku nolak?"

"Aku nggak akan ngambil kerjaan ini, aku akan tetap di cabang Jakarta sambil nguntit kamu kemana aja sampai kamu mau maafin aku dan balik sama aku lagi" aku tersenyum padanya, I love him so much "I love you, my whole life, Karena itu aku mau ngambil kerjaan ini cuma karena kamu, hidup tanpa kamu itu buruk, dan bodohnya aku baru sadar satu jam setelah pergi dari rumah kamu minggu lalu"

"Oh honey" aku membelai pipinya dan menciumnya lembut.

"Please, kamu mau hidup di Paris sama aku?" wajahnya kelihatan sangat mengharap

Aku dengan kecewa, menggeleng, wajahnya terlihat kecewa, dia menoleh ke arah lain, aku menariknya menatapku lagi, lalu kukatakan dengan jelas sambil menatap matanya  "Aku mau hidup sama Paris Wisnu Adilaga, dimanapun" dia kembali tersenyum dan merengkuhku.

Hidup baruku akan dimulai di sini, Paris!
Kata, tempat, gambaran yang membuatku dan Paris bersatu, berpisah, dan akhirnya menyatu selamanya.

Hidupku selanjutnya akan dilalui di Paris!!
Bekerja, menjadi istri Paris, dan ibu anak-anak kami
Aminn!

Aku akan bahagia, tetap bahagia, dimanapun kami berada, asal Paris selalu bersamaku, memelukku dan tidak akan melepasku lagi.









No comments: