Satu lagi cerita tentang seorang kakak laki - laki, adik perempuan, dan seorang laki - laki asing.
Setiap hari adalah hari yang sama
Hari ini Senin? Selasa? Apa yang berbeda?
Saka melihat seorang perempuan manis duduk di bangku taman kampus teknik, mungkin mahasiswa teknik juga. Mungkin arsitektur atau malah teknik sipil, tidak mungkin dia berasal dari jurusan teknik mesin seperti dirinya. Perempuan itu manis dengan kulit kecoklatan dan mata lebar. Dia berwajah murung, seperti mempunyai beban yang sangat berat untuk ditanggungnya, pandangannya kosong, mungkin dia sedang melamun. Sepertinya baginya tidak peduli apa yang terjadi di dunia nyata, yang terpenting adalah kenangan yang dia coba ulang terus – menerus dalam bayangannya agar tidak cepat pudar tertumpuk oleh kenangan – kenangan baru. Setiap hari adalah sama, yang terpenting adalah apa yang dia pikirkan, bukan yang lain.
Sebuah tepukan hangat menginterupsi pengamatannya, Vicky, teman sekelas sekaligus teman serumahnya di kota ini. “Lo kenapa sih?” Vicky kemudian mengikuti arah pandangan Saka, ke arah perempuan manis tadi. “Jangan ganggu dia, ada penunggunya” Vicky memperingatkan
“Maksudnya?” Vicky kemudian menceritakan bahwa nama perempuan itu adalah Bestari. Nama yang unik, menurut Saka dan cocok untuknya dengan kulit kecoklatannya, artinya matahari. Bestari atau sering dipanggi Tari oleh teman – temannya adalah mahasiswi arsitektur tahun pertama, dua tahun di bawahnya. Kemanapun dia pergi selalu ditemani kakaknya, Rangga, mahasiswa psikologi tahun terakhir yang cukup dikenal di Fakultas teknik karena seringnya dia mengantar dan menjemput adiknya.
“Jangan liat, jangan deketin, jangan nyapa, apalagi PDKT. Bisa dilibas sama Rangga dan teman - temannya” Vicky juga menceritakan masalah Sapta, teman seangkatan mereka yang mencoba melakukan pendekatan pada Tari, tapi baru saja akan mengajak Tari jalan, besoknya dia tidak berkuliah selama beberapa hari. Gosip kemudian menyebar bahwa dia dihajar Rangga dan teman – temannya. “Lagian anak itu aneh, dia dieeem terus. Temennya juga cuma beberapa, kemana – mana sendiri kalo nggak sama penunggunya. Tapi---”
“Tapi anehnya lo tau gosip tentang dia” Goda Saka
“Itu juga gara – gara si Sapta. Udah deh! Ayo kita pulang, hari ini kan kita mau beres – beres rumah kontrakan baru.”
Saka menoleh sekali lagi pada perempuan tadi, “Tari kita akan bertemu lagi” bisiknya yakin.
Entah mengapa, tapi setiap kali aku melihatmu aku selalu ingin mengatakan
“semua baik – baik saja, ada aku”
“Arrrgggggg” Suara teriakan perempuan langsung membuyarkan acara beberes kamar Saka, teriakan itu berasal dari balkon kamar yang berada tepat di seberang balkon kamar barunya. “Arghhhhh” Teriakan itu terus berlanjut, dengan sigap Saka meloncat dari balkonnya menuju seberang dan berlari masuk ke kamar tetangganya tanpa permisi. Disana dia langsung merasa bingung. Tidak ada yang aneh, kecuali seorang perempuan duduk di pojok kamarnya yang cukup feminim itu dengan tubuh bergetar dan terdengar pula isakan pelan.
“Hei.. Kamu kenapa?” Saka berjalan perlahan menuju gadis itu, mungkin tadi ada pencuri masuk, lalu gadis ini berteriak? Bisa saja, tapi melihat keadaan kamar yang cukup rapi kecuali tempat tidur yang seprainya berantakan tanda sudah dipakai, tidak ada tanda – tanda pencurian atau apapun.
“Arghhhhhh” Gadis itu tiba – tiba berteriak lagi dengan mengayunkan tangannya yang sedari tadi digunakannnya untuk menutupi wajah. Saka kaget, Tari? Bestari? Gadis Matahari? Tanpa berpikir panjang Saka berjalan cepat dan langsung merengkuh tubuh bergetar yang sekarang ada di pelukannya. Gadis itu meronta, merasa tidak nyaman, tapi tidak bisa melawan kokohnya kurungan Saka. Saka tidak tahu mengapa dia nekat melakukannya, dia hanya berpikir untuk menghentikan tangisan Tari, tangisan yang entah mengapa membuat perasaannya tidak menentu. Kalut
“Shhh... udah jangan nangis lagi, ada aku” katanya sambil mengusap punggung Tari, walaupun kakinya pegal karena berjongkok sambil memeluk Tari dia tetap bertahan dengan posisi itu, dia tidak tahu harus berbuat apa selain memeluknya.
“Papa...” Satu kata kemudian terucap, setelah itu hening panjang. Hening yang damai. Saka tetap memeluk Gadis itu sebelum kemudian dirasakannya Tari tertidur dipelukannya. Saka langsung mengangkat Tari dan menidurkannya di tempat tidur, menyelimutinya sampai ke bawah dagu dan terdiam memandang wajah damai dengan bekas lelehan airmata di sana. Dengan perasaan aneh, lega mungkin, Saka kembali ke kamarnya dengan hati yang lebih ringan. Tidak peduli dengan kejadian aneh yang baru saja dia alami.
Saat hari sudah mulai berganti petang, Saka sudah selesai menata kamarnya. Sekarang bahkan sudah mandi dan harum sabun, kemudian Vicky memanggilnya dari lantai bawah. Sepertinya Vicky sudah memasak sesuatu yang lezat, sebelum turun dia menengok ke balkon kamar Tari, masih sama, masih gelap. Apa dia harus ke seberang? Memastikan Tari baik – baik saja, atau hanya untuk sekedar menyalakan lampu?
“Woiii Sakaaaa!!! Cepetaan! Gue laper!” Teriakan Vicky membuatnya mengurungkan niat dan langsung turun.
Saka menyantap makanannya dengan penuh semangat, ternyata dia sangat lapar, lagipula masakan Vicky memang enak “Lo tahu siapa yang tinggal di samping rumah kita?” Tanya Vicky tiba – tiba. Saka langsung duduk tegang, apa Vicky sebenarnya tahu tindakan lancang apa yang diperbuatnya tadi siang? Tapi tadi siang Vicky kan pergi beramah – tamah ke tetangga sebelah dan pak RT, sepertinya tidak mungkin.
“Memang siapa?” Tanya Saka berusaha tidak acuh
“Cewek aneh dan penunggunya, lo tau nggak tadi siang gue liat tuh cewek dianter pulang sama Rangga, tapi Rangga pergi lagi sih. Kata Pak RT, mereka tinggal satu rumah sama pembantu, tapi pembantunya baru nalik kesini lagi hari minggu nanti.
“Udah deh jangan gosip kayak cewek” Saka langsung beranjak pergi
“Heh!! Cuci piringnya dulu!!” Tapi Saka mengabaikannya, cuci piring itu bisa nanti, dia ingin mengetahui keadaan Tari, apa dia baik – baik saja. Kalau menurut cerita Vicky, berarti Tari sendirian.
Aku bingung, sebenarnya aku kenapa?
Sejak bertemu denganmu aku jadi ingin terus melihatmu.
Kamu seperti candu
“Jangan ngeliatin dia terus bisa nggak sih?” Bisik Vicky cukup keras, suaranya terdengar jengkel. Bukan apa – apa, Vicky tentu saja tidak melarang sahabatnya jatuh cinta, dia juga tidak memprotes selera sahabatnya yang bisa dibilang cukup aneh. Tapi Saka akhir – akhir ini jadi ikutan aneh, sejak mereka pindah ke rumah kontrakan baru satu minggu lalu, yang entah kebetulan atau takdir, bersebelahan dengan rumah Rangga dan adik anehnya, bahkan kamar Saka pun berseberangan dan hanya berjarak 50 cm. Dan dengan tidak sengaja, dia sering melihat Saka meloncat ke balkon rumah sebelah setiap mendengar teriakan Tari yang sepertinya mempunyai jam yang tidak menentu.
“Nggak boleh ya?” Saka balas berbisik, tapi tetap memandang ke arah Tari. Obyek pandangannya sendiri malah sibuk mencatat dari buku teks. Karena terlalu terpesona dengan tampang serius Tari, Saka tidak menyadari, bahwa penunggu Tari mendatanginya.
“Gue mau bicara sama lo!” Ucap Rangga tegas dengan mengajak Saka keluar ruang perpustakaan. Saka tahu apa yang akan dibicarakan Rangga, karena Saka tahu kalau Rangga tahu, bahwa dia sering mendatangi Tari saat bermimpi buruk. Heh,, kenapa terlalu banyak kata tahu yang dia gunakan?
Saka sudah sering terpergok, tapi Rangga sengaja menyingkir dan membiarkan mereka berdua. Membiarkannya menenangkan Tari tanpa obat penenang yang selalu tersedia di meja samping tempat tidurnya. Seperti ada pengertian, tanpa kata antara mereka. “Gue mau nomong soal keadaan adik gue” katanya langsung, Saka hanya mengangguk. “Lo tahu kan, kalo dia nggak sadar cowok yang selalu dia panggil Papa setelah mimpi – mimpi mengerikan itu lo? Dia masih merasa itu mimpi” Sekali lagi Saka mengangguk, membuat Rangga gemas. “Lo nggak apa – apa?” Sekali lagi Saka mengangguk “Lo bisa ngomong nggak sih?”
Saka tersenyum, Rangga bisa juga frustrasi juga ternyata “Iya gue tahu, gue nggak bego. Gue tahu buat apa obat penenang itu. Sekarang giliran lo yang jelasin, kenapa dia bisa kayak gitu?”
“Kalo gue ceritain semuanya, apa nanti lo bakal ninggalin dia?”
“Nggak, seburuk apapun cerita lo, gue pasti bisa nerima” Jawab Saka mantap
“Yakin?” Rangga kelihatan ragu – ragu
“Gue udah nggak sanggup kalo harus ninggalin dia dan nggak ada pas dia butuh gue! Gue nggak bisa kalo nggak liat dia, apa lo nggak ngerti juga? gue kecanduan Tari”
Kamu malaikat kecil yang rapuh.
Lihatlah aku disini, menawarkan ketulusan dan kekuatan tanpa meminta apapun darimu sebagai balasannya
Rangga memulai dengan ragu “Tari itu adik angkat gue”Saka menunggu dengan sabar, dia tahu kalau Rangga butuh waktu karena mungkin saja itu adalah rahasia keluarganya. “Papa sama Mama gue adopsi dia sejak dia berumum 4 tahun karena gue pengen banget punya adik cewek. Dia baru saja masuk panti asuhan karena ayahnya meninggal kecelakaan, mereka sedang menuju ke taman bermain saat itu.”
Rangga menghela napas berat lalu melanjutkan “Ayahnya adalah satu – satunya keluarga yang dia miliki, Ibunya meninggal saat melahirkannya. Kasihan ya?” Saka tidak menjawab “Tapi saat kami datang, dia tersenyum ceria seakan tidak pernah mengalami itu. Gue langsung bilang kalau Tari harus jadi adik gue waktu denger cerita dari Ibu panti. Orangtua gue setuju dan Tari dibawa pulang.”
“Ternyata di balik keceriaannya Tari membawa trauma kehidupannya, dia sering bermimpi buruk tentang kecelakaan Ayahnya. Trauma masa kecil yang sampai sekarang masih dibawanya, mimpi buruk yang selalu menghantuinya membuat Tari bergantung pada obat penenang. Apalagi setelah Papa meninggal karena kecelakaan saat mengantar Tari les. Kecelakaan? Lagi? Tari baru saja bisa menghilangkan trauma bersama Ayahnya, tapi musibah ini datang dan menghantamnya, kali ini lebih kuat karena Tari sudah dewasa” Rangga berhenti untuk menarik napas sedih. Saka merasa kasihan dan simpati, ternyata hidup Tari begitu rumit dan tidak bahagia. “Banyak keluarga gue yang nyalahin dia, dia sendiri bahkan juga merasa bertanggung jawab. Anak bodoh!”
“Lo sendiri?” Tanya Saka tiba- tiba.
Rangga kelihatan agak tersinggung, tapi mau menjawab. “Nggaklah! Lo kira pikiran gue sesempit itu? Gue sama Mama nggak tahan melihat Tari yang semakin hari semakin sering bermimpi buruk akhirnya sepakat buat memindahkan Tari jauh dari keluarga besar gue. Mimpinya sekarang tentang dua orang Ayah yang meninggalkannya, semakin menyedihkan. Psikiaternya juga menyarankan hal yang sama. Saat Tari lulus SMA, gue minta dia pilih kota yang jauh dari Jakarta untuk kuliah, dia setuju. Tapi Tari bukan lagi orang yang sama, dia jadi pendiam dan menjauh, bahkan dari gue. Dia berpikir, toh semua orang akan mati, semua orang akan meninggalkannya, buat apa dia menghabiskan waktu sia –sia untuk sebuah kehilangan? Dia tidak ingin merasa sakit lagi, cukup duakali dia kehilangan Ayah.”
“Haaahhh!!! Gue nggak tahan, gue nggak suka dia menghindar dari gue dan bahkan nggak punya temen deket di sini. Saat gue ngeliat lo meluk Tari dan bisa menenangkan dia, gue berpikir mungkin nggak apa – apa, asal Tari baik – baik saja”
“Lo nggak suka sama adik lo sendiri kan?”
“Hah?” Rangga heran dengan pertanyaan – pertanyaan Saka, selalu saja aneh. “Maksud lo suka sebagai cewek? Ehm,,,, gimana ya?” Jawabnya ambigu antara mengiyakan dan tidak. Saka langsung memberinya tatapan tajam membunuh yang membuatnya tertawa terbahak – bahak. Ternyata dia tidak salah memilih pasangan untuk adiknya “Hahaha,,, tenang, gue udah punya cewek kok. Tapi cewek gue di Jakarta nih, gue kesepian” Saka tahu kalau Rangga hanya bercanda, tapi dia kesal juga.
Buk!!
Dihadiahinya Rangga tinjuan cukup keras di bahu. “Sialan lo!! Sini lo! Nggak gue restuin sama adik gue!!!” Teriak Rangga mengejar Saka.
Saka memutar percakannya dengan Rangga kemarin, hari ini dia belum sekalipun melihat Tari. Karena dia tidak berangkat ke kampus, dia masih perlu berpikir. Iya, dia tentu saja menyukai Tari, bahkan mungkin sayang dan dia bisa menerima semua cerita masa lalu Tari. Entah sejak kapan gadis matahari itu menyusup ke celah – celah hatinya. Tapi bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Tari nanti? Tari saja tidak tahu kalau dia ada. “Arghhhh” Tari!
Saka mencapai balkon seberang dengan cepat dan langsung menghambur masuk, tapi dia kaget saat Tari sedang berdiri di atas kasur, tapi tidak seperti biasanya, dia tidak menangis ataupun bermimpi, Tari dalam keadaan sadar penuh. “Kamu kenapa? Kamu baik – baik aja?” Tari sendiri kaget, siapa orang ini? Dan mengapa dia lancang memasuki kamarnya. Tari hanya bisa mengangguk. “Kamu kenapa?” Tanya Saka sekali lagi, kali ini dengan salah tingkah.
“Ada kecoa,,, arghhhh” Saat melihat kecoa besar terbang ke arahnya Tari langsung panik dan akan terjatuh dari kasur.
Hap! Saka menangkap tubuh Tari, tapi karena dia belum siap mereka berdua malah jatuh ke lantai. Saka mengaduh pelan, rasanya sesak sekali, karena dia terjatuh dengan ditimpa oleh tubuh Tari. Tari sendiri masih memejamkan mata takut merasakan sakitnya terjatuh, tapi dia tidak merasakan apa – apa kecuali detak jantung kuat seseorang di bawahnya. Saat akan melihat wajah Saka, tapi tanpa sengaja di mencium baju saka.
Tubuh Tari langsung membeku. “Papa” gumamnya. Saka tidak mengerti, bukankah Tari sedang tidak bermimpi? Kenapa masih juga menyebutnya Papa? Saat masih bingung, tiba – tiba dia merasakan Tari menciumi kaosnya. “Papa” gumamnya lebih keras.
“Tari, Tari” Saka memanggil – manggil, tapi Tari tidak menjawab. Dia memanggil Tari lagi, tapi hasilnya Tari malah menangis dan membenamkan wajahnya di dada Saka, mencium baunya.
Klek!
Saka tahu itu Rangga. Rangga ingin melihat adiknya karena mendengar tangisan Tari, tapi saat melihat posisi mereka berdua Rangga langsung terbakar marah.
“Heh--!!” Bentaknya, tapi Saka langsung menunjukkan bahwa ini bukan waktunya marah. Rangga kemudian memperhatikan adiknya, Tari seperti tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Saka hanya mengangguk sedikit, Rangga tahu kalau Tari sedang berada di dunianya sendiri. “Tari” Panggil Rangga lembut. Tari memutar wajahnya “Papa Kak, Papa di sini. Baunya seperti Papa” Saka langsung mencium baunya sendiri, ini adalah parfum yang selalu dipakainya sejak SMA, memang ini parfum yang sama dengan Ayahnya, ternyata ini juga parfum favorit Papa Tari dan Rangga.
“Tari, Papa ada bukan hanya karena baunya, tapi dia ada di hati kita. Udah ya? Kasian kamu, kalo Saka sih pasti kesenengan” Saka meringis. Rangga langsung menarik Tari berdiri dan memeluknya. “Udah dong dek, nanti kalau kamu sedih begini kan gue juga ikut sedih. Papa pasti juga bakal sedih deh. Kamu nggak mau kan Papa sedih?” Tari menggeleng “Jadi kamu juga harus bahagia biar Papa seneng, kamu ngerti? Tari mengangguk patuh “Anak pinter, sekarang kenalan dulu sama temen kakak dan orang yang udah beberapa minggu ini kamu peluk - peluk pas mimpi soal Papa” Tari hanya menunduk malu, Saka terpesona dengan wajah tersipu -sipu Tari, menggemaskan. Mereka berdua jadi salah tingkah, Rangga hanya meringis. Please deh! Mereka itu sudah besar, tapi baru lihat – lihatan saja sudah salah tingkah.
“Yaudah kalian ngobrol dulu, tapi jangan di kamar!” Rangga memperingatkan, walaupun Saka sudah biasa ke kamar adiknya, tapi dulu kan situasinya berbeda, bukan saling suka seperti sekarang.
Kamu tahu rasanya bahagia cantik? Aku baru tau sekarang, Aku bahagia saat bersamamu
“Aku berangkat ya?” Tanya Tari dengan berat hati. Hari ini dia akan pulang ke Jakarta dengan kereta untuk bertemu Mamanya, tapi sepertinya Saka biasa saja, padahal Tari sendiri merasa sangat sedih. Dua minggu sudah mereka berkenalan secara resmi, Tari merasa sangat nyaman dan langsung merasa bahwa Saka dikirimkan Tuhan untuk membantunya memafkan diri sendiri. Tari suka diam – diam mencium baju Saka yang berbau seperti Papanya dan Saka langsung menggodanya “Mau dipeluk? Biar bisa nyium wanginya lebih deket?” Saka tidak marah walau mungkin saja Tari mau dekat dengannya hanya karena alasan Papanya, tapi tentu saja tidak, Tari memandang Saka, bukan kenangan yang mendekatkan mereka.
“Iya, ati – ati ya” Jawab saka sambil tersenyum manis, satu hal yang membuat Tari semakin sulit meninggalkan Saka. Dia tidak akan melihatnya sekitar satu minggu ke depan, entah sejak kapan dia bisa menjadi sebegini kecanduan Saka. Padahal dia baru mengenalnya dua minggu, waktu yang cukup singkat. Bahkan sekarang Saka sudah menggantikan keberadaan Rangga. Sekarang Rangga bukan lagi orang yang menemaninya kemana – mana, tapi Sakalah orang itu. Kadang bertiga bersama Vicky atau berempat dengan Rangga, atau malah banyak orang bersama teman – teman Saka dan Tari. Tari memahami, bahwa jika kita menyayangi orang – orang disekitar kita dengan tulus, walaupun nanti kita akan kehilangan mereka, pasti kenangan manis akan terus mewarnai kenangan kita dengan orang itu. Dan orang yang meninggalkan kita akan merasa spesial karena mempunyai orang – orang yang sangat spesial di dunia ini. Ini semua karena Saka, bahkan Rangga pun mengakuinya.
“Aku nggak mau pulang!” Kata Tari tiba – tiba langsung memeluk Saka.
“Hei, kenapa?” Saka tersenyum misterius sambil membalas pelukan Tari.
“Kamu kok kayaknya seneng banget aku mau pulang” Tari melepaskan pelukannya “Tuh, kamu senyum – senyum” Tawa Saka langsung meledak.
“Udah ah, tuh denger! Pengumuman pemberengkatan kereta sebentar lagi. Sekarang Ayo kita masuk! Cari tempat duduk kamu” Saka segera naik, tapi Tari mencegahnya, wajahnya cemberut, tapi Saka tetap menariknya masuk ke gerbong. Saka mencari nomor tempat duduk Tari. “Nah ini tempat duduk kamu, mana tasnya? Tasnya taruh di deket kaki kamu aja biar aman” Saka menyuruh Tari duduk di tempatnya, tapi Tari tetap bersikeras tidak mau. Saka mendesah pasrah, “Kamu kenapa sih?”
“Aku,,, Aku nggak mau pisah sama kamu. Aku udah kangen kamu.. hiks hiks..” Tari tahu kelakuannya memang seperti anak kecil yang akan ditinggal Ibunya, tapi dia tidak bisa menahan rasa sedih dan kesalnya karena berpisah dengan Saka. Semua orang pasti sedang memandangnya heran, Saka juga, karena cowok itu sedang memeluknya sambil tertawa pelan, sebal!
Prittt!!!!
Kereta mulai berjalan, Saka membimbing Tari yang masih sesenggukan untuk duduk karena sudah banyak orang yang memandang mereka dengan aneh. Tari tiba – tiba ingat sesuatu setelah kereta sudah berjalan agak jauh. “Saka? Kamu? Kamu kan nggak ada tiket? Gimana sama motor kamu? Masih di parkiran stasiun! Gimana nanti kalau ada pemeriksaan karcis? Aduh Saka, jangan – jangan nanti yang punya tiketnya dateng? Gimana doong? Aduhh kenapa kamu malah ketawa sih?”
“Hahahahahaha” Saka sudah bingung menghitung sudah berapa kali dia tertawa dalam satu jam ini, Tari hari lucu sekali, masa baru sadar setelah kereta sudah lumayan jauh? Sudah melewati dua stasiun, sudah setengah jam perjalanan bahkan!
“Ih Saka nggak ada yang lucu!” Tari mencubit lengan Saka, membuat cowok itu mengaduh.
“Tenang aja deh cantik, gampang” Saka langsung mengeratkan rangkulannya pada pundak Tari, menenangkannya. Tari sempat protes, tapi akhirnya karena kenyamanan pelukan Saka, akhirnya dia malah tertidur.
Tari terbangun karena gerakan Saka yang akan mengambil dompetnya “Sorry kamu kebangun ya? Sebentar ya, nanti kamu bisa tidur lagi” Saka mengeluarkan dompetnya dari saku belakang jeans- nya. Tari tidak melanjutkan tidurnya, hanya memandangi Saka yang mengeluarkan sebuah kertas panjang dari sakunya, seperti... TIKET??!! Saka menyerahkan dua lembar, sekarang Tari yakin kalau itu tiket, untuk diperiksa.
“Terimakasih Pak” Kata saka sambil tersenyum, Saka kemudian memandangi Tari heran “Lho kamu nggak mau tidur lagi?” tanyanya tanpa rasa bersalah
“Tiket darimana itu?” Tari berusaha untuk tidak menjerit. Kalau Saka dari tadi memang mempunyai tiket kenapa tidak langsung bilang dari saat akan berangkat kalau Saka juga akan ke Jakarta? Kenapa mebiarkannya menangis konyol di stasiun bahkan di gerbong kereta? Kenapa membiarkannya was was dan ketakutan saat menyadari bahwa kemungkinan Saka tidak memiliki tiket dan bahkan akan mati ketakutan karena bangun disaat petugas pemeriksa tiket berada tepat di sebelah kursinya?
“Aku belilah, sekalian sama tiket kamu” Jawab Saka sambil mengedip jahil.
“Ih Sakaaa... !“ Untuk sesaat Tari bingung, apakah dia harus memukul atau memeluk Saka, tapi bukan perkara sulit untuk menentukan. Tari langsung menusup ke pelukan Saka. Mengubur wajahnya di dada Saka dan mencium aroma Saka sebanyak –banyaknya. “Jahat! Kenapa nggak bilang dari tadi sih? Tau gitu kan aku nggak perlu nangis – nangis nggak jelas di kereta”
“Hehehe,, kan itu seninya, Aku jadi tahu kalau gimana kamu merengek – rengek waktu mau aku tinggal. Kamu bahkan nggak sadar kalau tiket kamu masih di aku. Saka, aku udah kangen sama kamu.” Saka menirukan suara Tari.
“Ihhhhhh” Tari mencubit pinggang Saka dengan sayang.
“Aku mau nemenin kamu sampai Jakarta, aku nggak tega ngebiarin kamu naik kereta sendiri ke Jakarta, walupun itu kereta eksekutif seperti sekarang, bahkan kalau itu kereta yang kamu sewa secara privat sekalipun. Aku takut kamu kenapa – kenapa. Nggak aman cewek sendirian pergi jauh, apalagi cewek itu kamu. Orang yang aku sayang” Tari sudah tidak berbicara setelah setengah perkataan Saka, dia tersanjung dan terharu. Saka menghela napas “Walaupun kamu terbiasa pulang pergi Jakarta sendirian, tapi karena sekarang ada Aku, kamu nggak boleh begitu lagi. Kamu kan juga ke Jakarta karena mau minta maaf sama Mama kamu kan? Aku di sini juga mau ngasih dukungan buat kamu, Mama kamu sayang banget sama kamu, apapun yang pernah kamu lakukan, nyuekin dia setahun kemarin, bahkan menolak teleponnya, tapi dia tetap keluarga, dan keluarga itu rumah. Tempat kita kembali saat seluruh dunia menyakiti kita” Tari langsung memeluk Saka lagi, “Aku sayang kamu, eh? Nggak apa –apa kan aku bilang aku sayang kamu walaupun kita baru dua minggu resmi kenalan? Nggak kecepetan kan?” Tari hanya menggeleng sambil menyembunyikan wajahnya. Saka mencium puncak kepala Tari.
Saka merasa bahagia, sebuah cerita singkat perjalanannya takdirnya bersama Tari ternyata bisa membuatnya dan Tari sebahagia ini. Saka menggumam pada Tari yang sudah terlelap tidur. “Kamu tahu rasanya bahagia cantik? Aku tau, karena aku merasakannya saat bersamamu”
Dan setelah bertahun – tahun akhirnya Tari bisa melepaskan cengkraman mimpi – mimpi yang dibuatnya sendiri selama ini. Berdamai dengan diri sendiri. Karena kenangan itu untuk depegang erat agar kita dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan bahagia. Bukan dipegang erat – erat sehingga kita tetap bertahan ditempatnya, tanpa mau maju karena takut untuk meninggalkan.
Papa, maafin Tari karena udah nyakitin Mama sama Kak Rangga dan semua keluarga yang sayang sama Tari. Tari sekarang sadar kalau Tuhan sayang sama Tari karena Tari adalah orang yang terakhir Papa lihat sebelum meninggal. Semua itu karena Saka, dia ganteng, keren, pinter, tapi juga jahil. Kapan – kapan Tari ajak dia jenguk makam Papa. Tari sayang Papa, semoga Papa bahagia, karena melihat Tari di sini juga bahagia. ;)
NB: Oh iya Pa, wanginya sama kayak Papa.
2 comments:
like (y)
Thanks udah baca :)
Post a Comment