Tokk Tokkk
Aku menggeliat di tempat tidur, menulikan
telinga dan berusaha kembali tidur.
"Bangun!" Dia kembali mengetuk
pintuku.
"Bangun! lo pilih aja. Lo mau gue dobrak
apa pake cara alus?" Aku terpaksa bangun karena memang dia akan
melakukannya, seperti kemarin.
"Gue bangun" Aku bangkit membuka
pintu. Wajah tegas seperti kemarin menyambutku di depan pintu. Hanggara
Prastowo, seorang anak sahabat kecil Bapakku yang juga seperti kakak yang tidak
pernah aku punya. Aku seperti tidak mengenal laki – laki ini sekarang ternyata
Mas Hangga berubah. Sekarang Dia adalah pengawasku.
Bapakku sendiri masih berada di Inggris, Ibu
sudah meninggal sebelum aku berumur 5 tahun. Tiga bulan yang lalu Aku
memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Aku ingin merawat nenek yang kesepian,
walaupun aku sering mengunjungi nenek- salah satu hal yang membuat bahasa
Indonesiaku lumayan gaul- aku ingin lebih dekat dengannya. Aku juga sempat
berpikir, Bapak yang kesepian ditinggal sendiri, tapi sepertinya kesibukan
tidak akan membuatnya kesepian. Apesnya nenek malah berencana pindah ke
Inggris, urusan kepindahanku selesai bersamaan dengan selesainya proses
kepindahan nenek, Bapak entah kenapa seperti sengaja tidak memberi tahu. Lalu
untuk apa Aku ke Indonesia dan terjebak dengan Mas Hanggara yang walaupun
umurnya baru 24 tahun, tapi tingkahnya seperti kakek - kakek 100 tahun?
"Jam 6 belum bangun? gue aja udah bangun
dari jam 5 tadi. Belum salat subuh kan? Salat dulu, mandi, kita sarapan jam
setengah 7. Jangan telat!" Kata Mas Hangga galak. Aku hanya bisa cemberut
dan melaksanakan perintahnya. Entah sejak kapan Mas Hangga jadi begini dingin
dan galak? dulu dia baik dan hangat, Kenapa waktu yang cukup singkat ini bisa
mengubahnya?
Jam setengah tujuh tepat, Aku sudah duduk di
depan meja makan. Aku tidak terbiasa telat. Aku hanya agak sedikit kurang bisa
menyesuaikan diri dengan perbedaan zona waktu. Mas Hangga duduk diam sambil
membaca koran, tidak mengacuhkanku. Aku sedikit kecewa, kukira aku di sini akan
mendapat keramahan yang sama, kehangatan yang sama, yang dulu bisa membuatku
menyukainya.
Apa yang baru saja kukatakan?
Itu sudah berlalu, walaupun aku tidak
sepenuhnya yakin.
"Lo nanti Mas antar daftar sekolah,
sekolah di SMA swasta biasa aja" Kalimat pertamanya hari ini
"Noooo,, I used to with my subject
before, Kenapa nggak masukin Gue ke sekolah internasional aja sih?"
Aku sebal, Mas Hangga mulai seenaknya.
"Oom setuju aja dengan pilihan gue, dia
bilang kalau sekarang gue di sini wali lo. Jadi terserah gue lo mau di
sekolahin di mana, lagian lo sekarang lebih bule daripada yang dulu"
"Gue nggak mau! Mas berubah!" Aku
langsung berdiri dan masuk kamar. Aku menelepon Bapak, ingin mengadu. Internationall
call biarin deh, biar bokek tuh Mas Hangga. Jangan – jangan yang
bayarin juga Bapak? Ah bodo!
Tuutt,,, Tuttt...
"Assalamualaikum cantik"
Aku mendesah lega, suara bapak memang
menenangkan "Waalaikumussalam, Bapak kenapa setuju aku masuk sekolah
swasta sih? Yang bener aja?" Aku langsung menyerocos
"Masmu sekarang sudah dewasa, jadi Bapak percaya
sama pilihan Masmu saja. Kamu kan pintar cantik, pasti kamu bisa, Bapak yakin.
Yaudah, baik - baik sama Masmu, jaga diri. Salam buat Hangga ya"
&#*@%€#!!!!
♫♫♫
"Selamat pagi, nama saya Almera Bramantyo,
Kalian bisa memanggil saja Ame (Baca: Ami) "
Kata - kata itu yang mengawaliku berkenalan
dengan teman - teman baruku di SMA Verdinia ini. Untung saja Mas Hangga masih
memiliki akal sehat, jadi walaupun aku berada di sekolah biasa, tapi kelasku
tetap Internasional.
"Yasudah, Ame, kamu duduk di deretan kedua
dari belakang" Setelah aku duduk seorang murid disampingku
memperkenalkan diri "Hai, gue Kalvin, gue tahu gue bukan pangeran, tapi
boleh kan gue temenan sama lo, Putri" Dia menggodaku, flirty banget.
"Hahaha,, I like you Mr. Flirty, gue Ame"
Kami mengobrol seru setelahnya, “Jadi lo pindah
dari Inggris buat nemenin nenek lo, tapi malah terjebak sama mas mas galak?
Kasihan, kenapa nggak balik aja lagi kesana?”
“Nggak ah, birokrasinya ribet, gue tahun ini
udah kelas 9 jadi yaudah deh, lagian kayaknya asyik juga kok di sini” Kami
bertukar senyum, Kalvin orang yang baik.
Pelajaran hari ini berjalan cukup menyenangkan,
teman – teman baruku juga baik. Kalvin ramah dan membantuku bergaul. Benar,
mungkin hariku di sini tidak terlalu buruk. Apalagi, masuk dan liburnya
sekolah ini mengikuti sister school-nya
yang memang di Inggris, jadi aku tidak ketinggalan banyak. Dan ada summer holiday-nya juga. Yeaaa,, Aku
bisa pulang deh.
♫♫♫
“Ahh,,
filmnya bagus banget” Kalvin belum berhenti memuji film yang baru saja kami
tonton. Hari ini setelah pulang sekolah hari pertamaku, kami memutuskan untuk
pergi menonton. Kata Kalvin ini adalah perayaan perkenalan kami berdua. Ada –
ada saja.
Aku tidak
meminta izin Mas Hangga, karena pertama, aku tidak memiliki nomor ponselnya,
bagaimana bisa? Itu terjadi karena semenjak aku tinggal di rumahnya sampai tadi
pagi, interaksi kami hanya berisi kejutekan Mas Hangga. Kedua aku masih kesal
dengan perlakuannya padaku selama aku berada di Indonesia. Aku yang tidak tahu
jalan seharusnya sih dijemput. Saat pulang sekolah, aku menunggu Mas Hangga
selama satu jam, tapi dia belum juga muncul. Kalvin yang menemaniku menunggu
langsung mengusulkan agar aku pergi bersamanya.
Lagipula
Mas Hangga aneh sekali, dia tidak berkata apapun saat aku akan berangkat
sekolah tadi. Apapun yang terjadi nanti, pastinya aku bukan orang yang pantas
disalahkan. Kami akhirnya memutuskan
makan di food court. Sedang asyik –
asyiknya makan aku melihat Mas Hangga sedang makan bersama seorang perempuan
cantik. Siapa? Pacarnya? Oh, jadi dia tidak menjemputku karena perempuan ini?
Dasar tidak bertanggung jawab! Kenapa juga
perasaanku jadi aneh? Rasanya sesak! Dadaku sesak! Apa aku cemburu?
Tidak, tidak mungkin!
Kemarin
saja aku ingin mengutuknya, karena membentakku untuk mencuci baju sendiri. Memang
dari dulu aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah, tapi kenapa mintanya
harus pakai tarik urat sih? Tiba – tiba Mas Hangga berbalik dan tatapannya
bertabrakan dengan tatapanku. Aduhh,, kualat deh ngomongin orang.
Aku
sudah akan memalingkan tatapanku dan berpura – pura tidak melihatnya, tapi Mas
Hangga sudah bangkit dan berjalan menghampiriku dengan tergesa – gesa.
Perempuan cantik pacarnya itu juga mengikuti dengan bingung.
“Lo!”
Nadanya kasar tapi hanya berupa bisikan. Aku hanya memandanginya “Kemana aja
lo?”
“Gue..
Gue..”
“Pak
Hadi yang gue suruh jemput lo sampai nungguin lo berjam – jam tau! Lo emang
udah biasa jadi tuan putri buat Oom Bramantyo, tapi dia lagi nggak di sini.
Jadi jangan sok jadi tuan putri!”
Dia
jahat!
Aku
langsung menarik Kalvin pergi, tidak memperdulikan panggilan Mas Hangga. Aku
tidak mau mendengar apapun lagi. Bisa – bisanya dia bilang aku sok jadi tuan
putri?
Aku
benci Mas Hangga.
“Ame,
Stop! Gue gue nggak kuat lari lagi” Kalvin sepertinya merasa tidak nyaman
karena dia belum menyelesaikan makannya, belum sempat minum. Aku pergi ke Hypermart dan membeli air mineral untuknya.
“Sorry ya. Lo pasti nggak nyaman sama
kejadian tadi” Aku menunduk
Tangannya
tiba – tiba mengusap rambutku, aku menatapnya “Nggak apa –apa. Gue yang
harusnya tanya, lo nggak apa – apa kan?”
“Nggak
apa – apa kok”
Bohong,
aku berharap bahwa Mas Hangga masih Mas Hangga yang dulu.
♫♫♫
“Baru
pulang?” Mas Hangga ternyata sudah menunggu kepulanganku di teras rumahnya. Sekarang
sudah pukul 11 malam. Aku diam, kecuali dia meminta maaf sampai bersujud sujud,
oh nggak, walaupun dia bersujud aku juga tidak akan memaafkannya.
“Lo itu
ya, ditanyain sama Mas kok nggak dijawab?” Mas Hangga mulai membentakku, aku
tetap saja bergeming. “Gue khawatir sama lo! Jangan kayak anak kecil!”
bentaknya sambil mencengkeram lenganku.
“ Just shut up! What's wrong with you? Gue
nggak tau apa yang lo omongin! Memangnya Pak Hadi itu siapa? Lo aja nggak
pernah ngomong sama gue"
“Begitu
ya ngomong sama Mas?” Kurasakan cengkeraman tanggannya semakin kuat
"Mas
Hangga sakit!” Aku mendesis marah. Apa karena umurku masih 16 tahun lalu Mas
Hangga bisa seenaknya? Nggak bisa! “Kalau mas Hangga memang mau jadi musuh Gue,
fine!” kataku tegas. Mas Hangga langsung
melepas cengkeraman pada lenganku. Aku langsung masuk ke kamar.
“Bukan
begitu maksud gue” Aku mendengarnya menggerutu.
Keesokan
harinya kudengar ketukan di pintu kamarku, disusul suara lembut.
"Ame,
bangun" Aku bangun tiba - tiba. Ahh,, pusing. Aku baru bisa tidur nyenyak
pukul lima pagi setelah menangis sepanjang malam. Sepertinya mataku bengkak,
rasanya pedih.
Klek...
Mas
Hangga agak kaget melihat wajahku, pasti wajahku memang bengkak dan kacau. Mas
Hangga langsung mengalihkan pandangannya dariku.
"Lo
nggak sekolah?" tanyanya lembut, masih mengalihkan pandangannya. Aku masih
diam. Mas Hangga yang dulu tiba - tiba kembali. Aku menggeleng pelan " Mas
udah masak pasta kesukaan lo. Ya emang seharusnya kita makan yang lebih enak
dari sekedar mie bersaus, tapi lo suka sih. Gue kan mau minta maaf" Aku
tersenyum geli. Mas Hangga benci pasta, sangat berlawanan denganku yang bisa
dikategorikan pastaholic. Dia masih
menganggap bahwa spaghetti dan kawan
- kawannya adalah mie bersaus yang rasanya aneh. Ternyata Mas Hangga belum
berubah.
Aku
menyuap spaghetti dengan penuh semangat,
"Uhmm,, Yum.,, Yum" Aku memuji masakan Mas Hangga, dulu aku juga
belajar memasak dari Mas Hangga, dan walaupun dia tidak suka pasta, tapi dia
bisa memasak semua jenis pasta dengan rasa luar biasa .
Mas
Hangga tersenyum senang, kami makan dalam diam, tiba - tiba Mas Hangga berdeham
"Siapa cowok yang kemarin?"
"Temen"
Jawabku santai
"Anak
mana?"
"Nggak
begitu tau sih"
"Rumahnya
maksud gue?"
"Nggak
tau, kan gue baru kenal kemarin itu---"
"Nggak
tau? Dan lo udah mau jalan sama dia?" Nada bicara Mas Hangga berubah
tajam. Aku hanya menatapnya tidak mengerti. "Gimana kalo dia orang jahat, Jangan
temenan sama dia, dengerin kata – kata Mas!" Aku hanya menghela napas,
kelakuan seperti kakek - kakeknya mulai kambuh.
"Mas,
gue kan sekarang di sini, selamat. Berarti Kalvin orang bener dong"
"Kalo
lo melanggar aturan gue, Gue nggak bakal tanggung jawab, itu urusan lo"
Dia menatapku tajam.
Aku
membalas tatapannya, "Belum puas ya nyakitin gue?"
Mas
Hangga kaget dengan jawabaanku, dia terdiam sebentar sebelum menjawab dengan
lebih lembut "Gue cuma nggak mau lo jadi anak - anak lain yang yang salah
bergaul. Anak yang nggak mau diatur, anak - anak li---"
Aku
tercengang "Liar? Maksud Mas Hangga liar? Mas Hangga nggak kenal gue!"
aku langsung berlari masuk kamar dan mengunci diri sampai Mas Hangga berangkat
ke kantor. Rasanya benar - benar hancur, kenapa mas Hangga bisa - bisanya
menghawatirkanku nantinya akan jadi cewek liar? Liar? Kasar sekali kata –
katanya.
Setelah
itu hubunganku dengan Mas Hangga jadi semakin dingin. Mas Hangga sering pulang
malam dan tidak pernah lagi membangunkanku. Aku semakin merasa sendiri di sini,
tapi untung ada Kalvin yang selalu menghiburku, orang yang dianggap Mas Hangga
sebagai orang yang akan merusakku. Aku tidak lagi mengadu ke bapak karena
sepertinya bapak sedang sangat sibuk.
Mas
Hangga selalu memberikan uang saku dan pesan apapun dengan note yang diletakkan di meja
makan. Urusan mencuci, memasak, membersihkan rumah, semuanya dilakukan Mas
Hangga sendirian. Memangnya aku peduli? Aku seperti tinggal serumah dengan Pak
Pos saja. Terserahlah...
Kuakui
atau tidak, Aku kesepian.
Aku
merindukan perlakuan Mas Hangga yang dulu, he
always treats me well, ya seperti dia bilang juga, seperti Putri. Tapi sekarang
dia melihatku seperti melihat bakteri. Ingin sekali dihindarinya.
“Ame?
Ame? Almera?” Panggilan Kalvin menyadarkanku. Sahabatku yang selalu ada. Bahkan
Mas Hangga tidak bisa memberikanku rasa aman seperti Kalvin. Lihat mas Hangga, ini adalah orang yang
kamu anggap sebagai orang yang jahat, tapi ternyata Mas Hangga sendiri yang
menyakitiku.
“Eh? Apa
Vin? Sorry ya, gue agak nggak konsen.
Gue—“ Kataku hampir menangis, aku sudah tidak tahan tinggal serumah dengan
orang yang tidak menginginkanku.
“Iya gue
tau” Dia merengkuhku ke dalam pelukannya. Tanpa kusadari, mobil Mas Hangga
terparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri.
“Makasih
ya, gue nggak tahu kata apa yang bisa mewakili perasaan gue selain terimakasih.
Gue mau pulang aja” Kalvin memang bisa diandalkan
Kreekk,,
Bruk
Aku
terbangun ketika mendengar suara pintu terbuka dan benda terjatuh. Aku melirik
jam dinding, pukul 01.00? Aku berjalan ke ruang tamu, apa pencuri ya?
“Astagfirullah,
Mas Hangga?” Bukan pencuri, Aku malah melihat Mas Hangga tergeletak di lantai.
Aku mencoba mengangkatnya, berat. Saat seperti ini sepertinya lebih baik kalau
Mas Hangga mempunyai pembantu.
Bruk...
Aku
melemparkan tubuh Mas Hangga ke sofa besar ruang tamu. Untung di sini ada sofa,
coba kalau tidak, masak aku harus menyeretnya sampai kamar? “Mas? Mas Hangga?
Aw” Mas Hangga menarikku sampai terjatuh di atasnya, ugh bau alkohol. Mas
Hangga kenapa sih? Stress karena pekerjaannya? Apa gara - gara perempuan cantik
di mall itu?
Tiba –
tiba Mas Hangga menarik wajahku mendekat, kuat! Jangan – jangan dia mau
menciumku? “Jangan Mas! Mas Hangga sadar doong. Mass” Aku merengek seperti anak
kecil, tapi Mas Hangga tidak mau mendengarku. Menarikku lebih dekat sampai bibir
kamu bertemu.
“Hmmmpppp”
Mas Hangga tidak membiarkanku melawan, ciumannya serasa menguasaiku, menyuruhku
takluk pada ciumannya. Aku meleleh detik
demi detik hingga habis.
Mas
Hangga akhirnya melepasku dan tersenyum sangat manis, memelukku dengan kuat,
membiarkanku mendengar debaran jantungnya yang kuat dan berkata “Jangan jauhin
aku lagi ya, jangan pergi. Rasanya mau mati serumah sama kamu, tapi seperti
orang yang tidak saling mengenal. Siapa cowok yang sama kamu itu? Rasanya mau
bunuh siapa aja yang deketin kamu. Kamu milikku! Aku kangen kamu. Jangan kemana
– mana lagi!” Lalu Mas Hangga terdiam dan bernapas teratur. Dia tertidur
Apa yang
baru saja dia katakan? Aku langsung bangkit. Ciuman pertamaku? Dengan Mas
Hangga? Kata – kata Mas Hangga? Itu untukku? Mas Hangga menyukaiku?
Tidak
bisa dipercaya
Kamu
milikku?
♫♫♫
Tokk..
tokk...
Aku
terlonjak. Sudah setengah tujuh pagi, aku seperti orang bodoh belum beranjak
dari tempat tidurku sambil memandangi kebun belakang. Aku masih belum percaya
dengan apa yang terjadi tadi malam, sehingga tidak bisa tidur sampai sekarang
dan seperti orang bodoh malah tidak bisa melakukan apa – apa.
Tokk..
Tokk...
“Ame,
Kamu nggak sekolah?” Terdengar suara Mas Hangga, aku langsung pura – pura tidur.
Tindakan bodoh lagi karena pintu kamarku selalu kukuci. “Almera, Please, keluar” Suara Mas Hangga semakin
lirih, seperti sebuah kepasrahan yang diserahkan. Aku keluar, wajah yang
menyambutku bukan lagi wajah tegas seperti biasanya, tapi seorang Mas Hangga
dengan wajah lelah. “Kamu nggak usah sekolah, hari ini kita ke Dufan!”
“Aaaaaaaa”
Teriakan demi teriakan menyusul keseruan kami bermain di berbagai wahana Dufan.
Turangga – rangga, Histeria, kora – kora, sampai halilintar.
“Kamu
nggak capek?” Tanya Mas Hangga saat kami selesai naik kora – kora untuk kedua
kalinya. Aku menggeleng sambil tersenyum ke arahnya. Selama kami bermain di
Dufan aku jarang mengeluarkan kata, menikmati saat bersama kami. Mas Hangga sendiri
tidak berhentinya memberi perhatian. Aku juga mengamati kalau Mas Hangga
menggunakan “kamu” menggantikan “lo”. Ahh apa yang kupikirkan? Apa mungkin aku
menyukai Mas hangga? Cinta monyet zaman SMP- ku dulu pada Mas Hangga apakah
malah berkembang semakin jauh?
Sret,,
“Kamu
keringetan” Mas Hangga mengelap keringatku, aku hanya duduk tegang sambil
meresapi setiap detik tangan Mas Hangga di wajahku.
“Ma—makasih,
Kenapa Mas Hangga tiba – tiba berubah?” Dadaku bergemuruh, mungkin benar, aku
sudah jatuh cinta lagi pada Mas Hangga.
“Maafin
Mas Hangga soal tadi malam, mas nggak sengaja”
Deg!!
Apa yang
coba dia katakan? Ciuman tadi malam yang membuatku sampai tidak bisa tidur itu
ternyata sebuah ketidaksengajaan?
"Jadi
apa maksud mas tadi malam?"
Ah? Apa
yang baru saja kukatakan tadi? Aku belum siap dengan apapun jawaban Mas Hangga.
"Mas
lagi ada masalah di kantor, mas.. Mas kira kamu orang lain" Dia berbohong!
"Mas
Hangga bohong! Mas kira aku bakal percaya?”
“Maafin
Mas, tapi itu kenyataannya”
Aku
langsung berlari sekuat tenaga, aku ingin pulang. Tadi malam adalah pengakuan
Mas Hangga, Mas Hangga menyukaiku, tapi
tidak berani menyatakan perasaannya. Berarti aku tidak sebegitu berharganya
sehingga dia tidak mau memperjuangkanku.
Aku
langsung pergi ke bandara, tidak perlu mengambil paspor karena aku selalu membawanya,
aku langsung membeli tiket ke Inggris. Kalau memang aku sebegitu tidak
diinginkan, lebih baik aku pulang.
♫♫♫
Udara terasa hangat,
saat ini bulan Mei, bulan hangatnya London. Aku tinggal di Kawasan Perkotaan
London Raya, kawasan perkotaan terbesar di Inggris. Jadi di sini terasa ramai
dan penuh sesak orang, yah dengan populasi 8.278.251 orang tentu saja hal ini sangat
wajar. Aku baru sampai tadi malam, tapi sampai sekarang, sudah pukul 02.00
siang, aku tidak bisa tidur. Aku merindukan kasurku di Jakarta? Atau mungkin
karena masalah yang kutinggalkan di Jakarta? Atau karena kata – kata Bapak tadi
pagi?
Bapak tidak marah
dengan kepulanganku tiba – tiba, mungkin karena wajahku yang sangat kacau, aku
tidak bisa berhenti menangis di pesawat. Bapak hanya mengatakan beberapa fakta
yang mengganggu,
“You
have a problem” Itu kalimat pertamanya saat
sarapan. “Pasti masalah Hangga, nanti Bapak kasih tau semuanya”
“Kamu
sudah dilamar Hangga” Aku kaget saat mendengar kalimat Bapak. Kami baru selesai
sarapan dan sekarang sudah berada di ruang kerja Bapak. “Kalian sudah
dijodohkan sejak Hangga tinggal di sini untuk kuliah”
“Bapak
pasti bercanda!”
“Nggak,
Hangga menyetujuinya, tapi menurutnya kamu belum bisa menyayanginya, selain
kamu masih kecil, jarak antara kalian menempatkan Hangga lebih cocok jadi
kakakmu” Bapak tersenyum sangat manis “Saat Hangga pindah, Bapak masih terus
berhubungan dengannya, bergosip tentang kamu. Dia tidak bisa berhenti bertanya,
dia sangat menyayangimu”
“Saat
kamu memutuskan pindah, Bapak langsung menyuruh nenek kamu pindah, Jangan
melotot!” Aku mendengus, dasar Bapak! “Bapak pikir ini bagus, tapi ternyata
kalian malah tidak akur. Seminggu yang lalu, saat kalian masih nggak ngomong,
Hangga minta kamu dari Bapak. Dan bapak nggak ada alasan untuk menolak”
“Haahhhhh...” Beberapa
orang di dekat danau dalam Regent's Park memandangiku, terserah apa yang mereka
pikirkan yang penting aku sedang kesal. Ini beban yang cukup berat untuk
ditanggung anak high school
sepertiku. Banyak pertanyaan yang menggantung di benakku. Kenapa Mas Hangga
berubah padahal dia bahkan sudah melamarku? Dia menciumku, tapi dia menolaknya?
“Arghhhh” Aku berteriak
menghadap danau.
“Kamu bisa nggak sih
nggak teriak – teriak?” Suara itu? Aku berbalik, Mas Hangga. Khas sinetron
banget sih?
“Mas Hangga kenapa di
sini?” Aku berkata ketus, oh please,
dia sudah menyakitiku sampai ke akar -
akarnya dan dia bilang maaf?
“Menurut kamu Minta
maaf lah, kalo boleh sih rujuk” Dia tersenyum bersalah, tapi tetap sok tidak
bersalah.
“Rujuk? Emang kita
pernah nikah?” Aku berbalik menghadap danau.
“Maafin aku,” Tangannya
yang besar dan hangat menyentuh tanganku, mengirimkan getaran – getaran ganjil.
Getaran yang nyaman. “Maafin aku karena bersikap egois, aku bukannya benci kamu
kalau itu yang mau kamu tanya. Aku sayang sama kamu, bukan cuma sayang, aku
cinta kamu”
Aku berbalik
menghadapnya, memeluknya dalam diam. Aku
juga cinta sama Mas Hangga. Bisikku dalam hati.
“Aku begitu senengnya
kamu pindah ke Indonesia, aku bersihin rumah seminggu full lho”
“Tapi Mas Hangga jutek
banget” Dia mengeratkan pelukannya, meminta maaf sekali lagi.
“Aku merasa nervous banget pas jemput kamu, terlalu excited tapi nggak bisa ngungkapin apa –
apa, jadinya malah ngeluarin kata – kata yang nggak bener”
“Terus soal itu?”
“Soal apa?”
“Ituuuuu...”
“Ciuman kita? Maafin ya,
pas aku pulang mabuk itu, aku lihat kamu dipeluk Kalvin, aku marah banget, mau
ngejauhin kamu, tapi kamu malah balik ke Inggris. Nakal yaaa” Katanya sambil
mencubit hidungku
“Oh? Cemburu? Mas
ngerti kan kalau aku cuma sayang sama Mas?”
“Aku emang bodoh, baru
sadar waktu kamu pulang ke Inggis dan aku nggak bisa nemuin kamu di sudut
rumah. Aku takut nggak bisa ketemu kamu lagi”
“Jadi masalah kita ini
simpel kan? Mas nggak boleh egois mikir perasaan mas sendiri. Aku di Indonesia
nggak ada temennya, Aku butuh Mas, tapi Mas malah musuhin aku ditambah dengan
cemburu sama Kalvin anak SMA? Daripada jadian sama anak SMA aku lebih milih
dilamar sama Mas – mas 24 tahun yang kelakuannya mirip kakek – kakek 100 tahun”
Dia tersenyum, senyum
paling tulusnya selama dua bulan aku tinggal di rumahnya “Aku boleh egois lagi?”
Aku mengangkat alis
“Boleh nggak kamu lulus
SMA kita nikah aja?”
“Nggak!!!”
Kamu boleh kok
mencintaiku dengan egois
No comments:
Post a Comment