Bahagia
adalah sebuah kata yang sederhana jika disandingkan denganmu
“Kamu bahagia bersamaku?”
tanyanya dengan wajah sedih
“Tentu saja, kenapa masih
bertanya?” Walaupun aku merasa heran, aku tetap meneruskan kegiatan memasakku
di apartemennya.
“Bukankah aku menjadi beban
bagimu?” Aku menghela napas, dia mengulanginya lagi. Aku menghentikan
kegiatanku memasakkan sarapan untuknya. Lebih tepatnya aku memasakkan sarapan
untuknya setiap hari, karena kami tinggal dalam satu gedung apartemen, tapi di
lantai yang berbeda. Aku berlutut di hadapannya yang duduk lemah di kursi roda,
menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Kami akan selalu mengulangi
adegan ini, hal seperti ini sudah terjadi, setidaknya setiap dua minggu sekali
dalam tiga bulan ini.
“Frea...” Panggilku lemah,
terkadang bersamanya bisa begitu melelahkan, bukan karena aku tidak bahagia
atau aku ingin mengeluh, tapi karena sikapnya yang terus – terusan menolakku,
walaupun aku satu – satunya tempatnya berpegang. Aku menggenggam tangannya yang
kurus, aku terkadang berpikir, apa karena aku semua ini terjadi padanya? “Cukup
karena kamu ada, cukup karena kamu di sisiku, bertahan di sini bersamaku, aku
bahagia” Aku terdiam sebentar, lalu melanjutkan “Cukup aku bisa melihatmu, aku
bisa memelukmu, merawatmu, aku bahagia” Aku menghela napas sebentar”
Wajahnya masih datar “Jika
bersamamu, bahagia adalah sebuah kata yang terlalu sederhana. Aku merasa luar
biasa bahagia” Dia akhirnya bisa mulai tersenyum lagi, “Nah, cantik, sekarang
saatnya kita makan” Aku mengambilkan salad buah dan sayur untuknya, tidak
banyak karena baginya makanan adalah musuh. “Sekarang, makan yang cukup dan
setelah ini kita akan ke dokter untuk check
up rutin, kita lihat apa pekerjaanku selama ini berhasil,”
“Menurutku kamu terlalu berhasil.
Aku merasa semakin gemuk, apa kamu tidak berlebihan memberiku makanan terus?
Aku merasa pipiku chubby sekali” dia
masih saja mengeluh, aku menatapnya nanar, tapi aku masih mencoba tersenyum.
Tubuh hanya berbalutkan kulit tanpa daging ini dia bilang gemuk? Oh Tuhan!
“Kamu cantik, dan gemuk apa?
Lihatlah, “ Aku meletakkan tangannya di atas telapak tanganku yang terbuka
“Tanganmu terlihat kecil sekali di sini, kalau kugenggam terlalu kuat bisa
hancur. Berarti kamu masih perlu menambah sedikit lagi agar tanganmu pas di
genggamanku” Dia kembali tersenyum, senyum keduanya hari ini dan mulai
menyuapkan salad ke mulutnya yang mungil.
Bertemu
denganmu rasanya BAHAGIA, tahu kamu bukan untukku rasanya KECEWA, tapi kamu tahu
rasanya melihatmu menderita? aku menyebutnya TERSIKSA
Aku bertemu Frea dua tahun yang
lalu, kami berada dalam satu lift di
gedung apartemen kami. Saat itu bukan hari yang menyenangkan untukku, ada
beberapa masalah yang mengganggu kelanjutan skripsiku, tapi dia dengan senyumannya
menyapaku. Kami berkenalan,
“Wira”
“Frea, kamu kuliah juga?”
Tanyanya saat melihat modul yang kubawa, aku hanya mengangguk.
Frea saat itu adalah gadis muda, manis,
bertubuh agak besar, tapi menurutku masih proporsional untuknya, wajahnya segar
dengan semburat merah muda di pipinya. Dalam perjalanan dari lantai dasar dia
terus saja berbicara, rasanya cukup lama karena aku tinggal di lantai 20 dan
dia di lantai 21. Aku menyukainya, dia gadis yang menyenangkan. Tanpa dia tahu,
dia telah meringankan hariku yang berat dengan senyuman dan ocehannya. Tapi hal
itu berhenti begitu saja, tidak ada kelanjutan yang berarti dari pembicaraan
kami saat itu. Kami masih bertemu, walaupun
hanya bertegur sapa saat bersama di dalam lift.
Atau kebetulan kami bertemu di restoran di dekat apartemen dan makan bersama,
dia masih gadis yang menyenangkan. Dia bahkan bercerita kalau dia sangat
bahagia dengan kekasih barunya, bagaimana kekasihnya memperlakukannya,
menyatakan cintanya, atau merayakan hari mereka semua diceritakan.
Dia sangat terbuka walaupun
membicarakan masalah pribadinya padaku yang sebenarnya masih tergolong asing
untuknya, dia percaya padaku. Aku hanya mendengarkan semua ceritanya dengan
tenang, sedikit kecewa karena gadis di hadapanku itu sudah dimiliki orang lain,
tapi aku bahagia karena siapapun orang itu, dia telah membuat Frea bahagia.
Semua berjalan seperti
seharusnya, aku dengan duniaku dan dia dengan semua kegiatannya. Sampai suatu
hari aku menemukannya pingsan di dalam lift,
saat itu tidak ada orang lain. Aku yang bingung langsung bergerak cepat
menggendongnya dan membawanya masuk apartemenku. Badannya lebih kurus daripada
saat terakhir aku bertemu dengannya, kira – kira dua minggu sebelumnya. Aku
tidak terlalu mengerti tentang hal – hal berbau kesehatan, tapi aku tahu ada yang tidak beres dengan
keadaan Frea. Aku memanggil dokter, menyelimutinya, membuat bubur, aku tidak
bisa diam. Terlalu mengkhawatirkannya. Sebelum
dokter datang dia sudah terbangun,
“Aku di mana?” Dia tentu saja
merasa asing dengan ruang tamu apartemenku yang sedikit berantakan.
“Ini apartemenku, kamu mau makan
sesuatu? Aku membuatkanmu bubur” Tatapannnya berubah, dari semula bingung
menjadi marah. “Kenapa? Ayo makan, mumpung masih hangat” Kataku menambahkan.
“Aku tidak lapar, aku akan pergi”
Dia bangit dengan cepat, tapi setelah itu jatuh dengan cepat juga ke sofa,
sepertinya tubuhnya lemah sekali. Aku langsung membantunya berbaring dengan
nyaman.
“Kamu bangun saja tidak bisa,
kenapa keras kepala? Dokter sebentar lagi sampai” Kataku sedikit membentaknya. Aku,
entah kenapa, merasa ingin menangis saat itu. Setahun sebelumnya dia adalah
gadis yang ceria, tapi gadis yang ada di hadapanku saat itu adalah gadis yang
sangat lemah dan pucat.
“Aku tidak sakit! Aku tidak butuh
dokter” Katanya bersikeras, tentu saja aku tidak percaya, wajahnya begitu pucat
dan kurus. Dia sakit! Aku tahu itu. “Aku ingin pulang, biarkan aku pulang” Dia
memukuliku dengan tangannya yang kurus dan lemah sambil menangis, entah kenapa
dia bisa selemah itu, sampai dia kelelahan dan pingsan untuk kedua kalinya. Aku
duduk di sisinya, memandangi wajahnya yang sembab, pucat, dan kurus. Saat
dokter datang dua puluh menit kemudian, dia masih belum bangun. Dokter
memeriksa keadaan Frea dengan teliti, tiba – tiba wajah dokter itu berubah.
“Kapan terakhir dia makan?” Aku
hanya bisa menggeleng, tanda tidak tahu “Ini darurat, dia mengalami dehidrasi
hebat. Mas, cepat hubungi ambulance,
saya akan melakukan pertolongan pertama” Betapa kagetnya aku, saat dokter
mengatakan kalau aku seharusnya membawanya ke rumah sakit sesegera mungkin, Frea
sudah sekarat.
Aku mencoba tetap tenang dengan
tangan gemetar menghubungi rumah sakit terdekat untuk mengirimkan ambulance. Semua berjalan begitu cepat
bagiku, ambulance datang, petugas membawa Frea yang masih pingsan untuk turun.
Aku mengikuti mereka, bersama Frea sampai dia masuk ICU. Aku menunggu seperti
orang gila, mengacak – ngacak rambutku, berjalan bolak – balik, ingin sekali
aku memaki. Aku terus bertanya, apa yang terjadi dengan Frea? Apa yang mereka
lakukan padanya? Apa Frea baik – baik saja? Ah bodoh! Aku terus – terusan menyalahkan
diriku sendiri atas kebodohanku waktu itu. Seharusnya aku segera membawanya ke
rumah sakit, memaksanya makan! Seharusnya aku,, seharusnya aku...
“Arghhh” Aku mengumpat pelan
sambil duduk berjongkok di depan ruang ICU. Beberapa minggu sebelumnya Frea
memang lebih pucat dan lebih kurus dari biasanya. Aku sempat bertanya, tapi
Frea terus mengelak dan mengatakan kalau itu hanya perasaanku saja sambil
tersenyum. Aku tentu saja mengkhawatirkannya, tapi dia seperti menutup diri. Dia
berubah.
Suara pintu terbuka
menyadarkanku, aku langsung mendekati dokter yang tadi memeriksa Frea. Kami
berbicara sebentar, aku kaget dengan apa yang dikatakan oleh dokter. Aku
langsung masuk ke ruang ICU, mencari Frea dan akhirnya menemukannya sedang
terbaring tidur, dengan wajah pucat, tangan kurus, dan jarum infus menancap di
punggung tangan kanannya. Itu pasti sakit.
“Anoreksia” Aku membisikkan
kembali pernayataan dokter padaku. “Anoreksia” aku mengulangnya sekali lagi,
mengusap wajahku. Aku bukan hanya marah pada Frea, tapi aku marah pada diriku
sendiri. Bahkan lebih marah, rasanya sakit sekali melihatnya begitu tidak
berdaya. “Aku di sini, tersiksa karena kamu begini. Mulai sekarang entah apa
yang terjadi padamu sekarang, aku akan selalu menjagamu, tidak membiarkanmu
jatuh, tidak akan membiarkanmu seperi ini. Aku berjanji!”
Tapi semuanya tidak semudah yang
kuinginkan, tentu saja. Penolakannya, kemarahannya, rasa bersalahnya, semua
berkumpul menjadi satu. Membuatku semakin tersiksa dan nyaris putus asa. Frea
sering membuang makanan tanpa aku atau suster tahu, menyembunyikan buah yang
dikirimkan teman – temannya saat menjenguk. Orangtuanya? Mereka seperti tidak
peduli, hanya materi yang selalu mereka berikan. Saat aku menghubungi mereka,
mereka mengatakan akan mengirimi uang dan aku harus memberi kabar pada mereka.
Memangnya Frea bisa sembuh hanya karena uang?
Setelah dua minggu Frea tidak mau
bicara, seseorang datang menjenguknya. Aku yang setiap hari datang dan pergi
menjenguk Frea heran dengan tingkah laki – laki itu. Karena dia langsung
menangis di samping ranjang Frea, Frea sendiri juga langsung menangis dalam
diam, tidak mengacuhkan semua perkataan laki – laki itu.
“Maafkan aku, semua ini karena
aku kan?” Frea diam
“Aku memang brengsek, tidak bisa
menerimamu apa adanya” Frea kembali menangis, tapi tidak memandang wajah laki –
laki yang baru datang ini.
“Aku ingin kamu lebih kurus
karena mungkin kamu lebih percaya diri, bisa seperti perempuan lain” Aku dan
Frea sama – sama memberi tatapan tajam pada laki – laki itu. Dia pikir dia
siapa?
“Aku ingin, kamu lebih cantik.
Kurus itu cantik dan pastinya lebih sehat” Aku sudah ingin meremukkan wajahnya
“Kamu pergi, bajingan!” Hanya tiga
kata yang dikatakan Frea, dan dia mengatakannya dengan lirih. Tapi aku tahu,
dia merasa sakit. Sangat sakit. Aku tahu kalau laki – laki yang bersamanya waktu
itu adalah kekasihnya.
“Aku sayang kamu, tentu saja. Lihatlah,
sekarang kamu lebih cantik” Kata laki – laki itu dengan tersenyum. Aku tidak
tahan, aku menarik kerah baju belakangnya, menyeretnya keluar dari kamar dan
mendesaknya ke dinding.
“Cowok berengsek! Lo pergi aja
dari dunia ini”
Buk!!
Aku begitu marah sampai tidak
tahu lagi apa yang harus aku katakan padanya. “Jangan sampai gue ngeliat lo sekali
lagi. Kalau nggak, mungkin saja lo nggak akan selamat!!”
Berani – beraninya dia berkata
seperti itu pada Frea. Aku akan melindungi Frea sampai akhir, dan tidak akan
membiarkan orang – orang sepertinya yang sangat mengagungkan penampilan
menyakiti Frea. Frea-ku.
Frea menjadi orang yang lebih
pendiam, sampai akhirnya dia bercerita padaku sambil menangis. Frea ingin sekali
memiliki tubuh yang kurus agar mantan kekasihnya memilihnya kembali. Dia
terobsesi karena ingin mengubah pendirian kekasihnya yang sudah berpaling pada
perempuan cantik dan berbadan kurus. Kekasihnya memang mengatakan kalau dia
memilih perempuan lain itu karena Frea lebih gemuk dan membuatnya malu untuk memperkenalkannya pada
teman – temannya. Dia berjanji akan kembali pada Frea setelah Frea kurus, dia
hanya ingin memotivasi Frea. Setelah Frea berhasil, setelah kurus, sakit, sekarat,
dan hampir mati mantan kekasihnya memintanya kembali!
Laki
– laki gila!
Hidup
itu seperti memutar dadu, tidak ada yang pasti. Tapi aku meyakini sesuatu, aku
menyayangimu dalam ketidakpastian itu
Dan sekarang di sinilah aku,
menemaninya melewati hari - hari penuh perjuangan. Melihatnya kesakitan setiap
melihat makanan. Menyembunyikan makanan yang kumasakkan, membuangnya, bahkan
memberikannya pada Patch, anjingnya. Ikut sakit saat dia sakit, menguatkannya
agar tetap bertahan, meyakinkannya bahwa semua baik – baik saja. Bersamanya
adalah sebuah perjuangan, dan aku tetap memilihnya.
Suara kursi roda membuyarkan
lamunanku, Frea sekarang lebih berisi, walaupun masih kurus untuk ukuran
badannya, beratnya 37 kg untuk tingginya yang 165 cm, masih jauh dari target idealnya. Frea juga masih susah makan, berbagai cara
kulakukan untuk memaksanya makan. Mulai dari cara lembut, membentaknya, bahkan
menangis di hadapannya.
Aku membantunya melakukan apapun,
melewati apapun. Bersama dengan mbak asih, perawat yang bertugas merawatnya
selama Frea di rumah, aku mengusahakan yang terbaik untuknya. Tentu saja,
sebenarnya dia lebih membutuhkan keluarganya, tapi untuk keadaan sekarang Mbak
Asih dan aku sudah lebih dari cukup.
“Hei” Aku tersenyum dan menarik
kursi rodanya mendekat. “Kamu lapar?” Tanyaku lembut. Dia hanya menggeleng
sambil. Meremas – remas tangannya, gugup.
“Aku mau bicara” katanya lirih,
jeda sebentar “tentang kita” lanjutnya. Aku cukup kaget. Aku memang sudah menyatakan
perasaanku, aku mencintainya, tapi Frea tidak pernah memberi jawaban. Aku memang
tidak membutuhkan jawaban karena selama aku dibutuhkan di sampingnya, aku akan
tetap di sisinya. Aku tidak mengharapkan lebih dari itu. “Aku, aku ingin
berubah” Aku menjadi tegang,
“Maksudnya?” Tanyaku hati – hati.
Frea menggenggam tanganku lalu
berkata “Aku ingin cantik, jadi kamu
akan lebih menyukaiku. Kalau aku sedikit gemuk, apa aku akan kelihatan lebih
cantik?” Tidak terbayang rasanya, aku begitu bahagia mendengarnya. Aku
memberinya senyuman terbaikku, kucium keningnya.
“Terimakasih, terimakasih” Aku
memeluknya sambil menangis, aku seorang laki – laki paling bahagia.
“Terimakasih telah berusaha, terimakasih” Aku mengusap air mataku, sepertinya
aku terlalu cengeng untuk ukuran laki – laki. “Kamu membuatku menangis, kamu
harus bertanggung jawab” Kataku akhirnya
“Hahaha,, kenapa begitu? Aku
harus apa?” Tawa pertamanya hari ini, sepertinya hidup ke depan masih sulit,
mengembalikannya seperti semula masih jauh, tapi aku akan berusaha, kami akan
berusaha.
“Sekarang masih jam lima sore,
kamu boleh makan sore. Ayo kita berbagi isi kotak sereal terakhir”
Aku menyayangimu, terimakasih
karena tetap berusaha hidup untuk bisa berada di sisiku.
Terimakasih cantik!
Nama: Aries Mawarni Putri
Fb: Aries Mawarni Putri
|
No comments:
Post a Comment