Maaf ya lama,, part selanjutnya nyusuuull :))
"Kalian istirahat, biar Nathan yang akan menyelesaikan misi ini" Kata Tante Murni tegas. Wajah Dio langsung mendung sedangkan wajah Tika beraut sebaliknya.
"Kalian istirahat, biar Nathan yang akan menyelesaikan misi ini" Kata Tante Murni tegas. Wajah Dio langsung mendung sedangkan wajah Tika beraut sebaliknya.
"Bun, aku sama Tika bisa!"
"Dio, kita kan baru pulang dari Rusia. Kenapa nggak Nathan
(Kakak laki-laki Dio) aja, aku minggu ini udah jadwalin ke salon nih, masak
udah sebulan aku belum ke salon? Emang kamu juga nggak capek?" Dio
mendelik kesal, Dia tau sifat Tika, gadis itu sangat memperhatikan
penampilannya. Hal itu terbukti dengan penampilan Tika yang selalu wangi,
bersih, dan cantik. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat.
"Tuh, kamu mending ikut Tika ke salon, pijet kek. Semua urusan
beres. Biar Bunda yang ngatur" Tante Murni langsung berjalan meninggalkan
mereka. Dio langsung menyusul Ibunya. Tika sendiri malah mendekati salah satu
anggota DPN, Laki-laki masih muda, umurnya kira-kira 23 tahun seumuran dengan
Dio, tapi lebih tua tiga tahun darinya. Penampilannya juga lumayan, cukup
ganteng lah, putih dan tinggi.
"Siang mas" sapa Tika santai, petugas tersebut hanya
menengok sebentar lalu kembali lagi mengecek tabletnya. Sialan! Gue dicuekin? Belum tau gue nih "Aku harus panggil apa
nih? Mas? Bapak? Atau mbah? Siapa namanya?" karena masih belum mendapat
tanggapan Tika semakin gencar "Mas aja ya? Mas tau nggak? Kami punya
senjata-senjata yang keren banget lho"
Agen tersebut hanya menengok sebentar dan menjawab, "Saya Bram,
senjata milik pemerintah pasti lebih keren" Agen itu lalu bangkit,
"Saya permisi"
Ughh,,, Tika saat itu langsung memutuskan, semua agen DPN
menyebalkan!
***
Tika kesal sekali, seharusnya dia turuti saja apapun keinginan Dio
kalau akhirnya begini. Dio jadi sangat menjengkelkan, hal yang biasanya terjadi
saat keinginannya tidak terpenuhi. Dan memang Dio tidak mendapat apa yang diinginkannya.
Nathan sudah berangkat kemarin ke Jogja. Mulai memeriksa tempat kejadian dan
saksi, kenapa disaat mereka bisa mendapatkan benda bersejarah, benda yang lain
malah hilang? Dio tentu saja ingin menyelidikinya, tapi Tante Murni tetap tidak
mengizinkan, mereka baru saja selesai bertugas jadi seharusnya di rumah saja.
Lagipula Nathan memiliki jam terbang yang jauh lebih banyak.
Dari 12 anggota Treasure Hunter, 6 orang bertugas di lapangan dan
sisanya bertugas di markas, yaitu rumah Dio. Anggota yang bekerja di markas
bertugas mengumpulkan informasi mengenai barang bersejarah milik Indonesia yang
hilang, mereka juga terus berkomunikasi dengan anggota yang bertugas di
lapangan, bagaimana persiapan, apa masalahnya sampai proses kepulangan mereka.
Semua terorganisasi dengan baik dan rahasia. Harus! karena barang bersejarah
Indonesia yang berada di luar negeri secara ilegal bukan hanya ratusan, tapi
ribuan, bahkan jumlahnya terus bertambah. Pemerintah, karena keterbatasan biaya
maupun tenaga, tidak bisa mengusahakan dengan maksimal sehingga departemen
kebudayaan dan pariwisata bekerja sama dengan Treasure hunter untuk
mengembalikan semuanya. Organisasi rahasia ini berdiri karena mimpi dua sahabat
dari mereka kecil, Murni dan Dewi, yang sangat menyukai wisata bersejarah.
Mereka kecewa saat mengetahui bahwa benda-benda yang mereka kagumi hanya sebuah
benda tiruan, sejak itu mereka bercita-cita menjadi sejarahwan, arkeolog,
maupun kurator. Mimpi itu tercapai saat mereka dewasa, dimulai dengan
menjalankan Treasure Hunter dalam skala kecil. Beberapa benda seperti gading
gajah purba di museum Trinil, Jawa Timur yang dulunya diangkut ke Belanda sudah
berhasil dikembalikan. Mereka juga mengembangkan alat-alat canggih, baik untuk
melarikan diri, memindahkan barang berat, berkamuflase, bahkan mereka mempunyai
pesawat pribadi. Semua itu tentu saja memerlukan modal besar, tapi itu bukan
masalah. Muri dan Dewi merupakan anak dari dua konglomerat yang bersahabat.
Raja media dan hotel di Indonesia. Setelah mereka menikah pun keadaannya tidak
berubah, malah semakin baik. Suami mereka juga sangat mendukung, Darmawan (Ayah
Dio) menjadi ketua Treasure Hunter sekaligus mengurus perusahaan IT milik
keluarganya, Ayah Tika (Bagus Pragiwaksono) menjadi pelatih beladiri dan
instruktur penerbangan. Semua berjalan semakin sempurna saat Treasure Hunter
yang semula bersifat rahasia mulai terbuka. Pemerintah mengetahui keberadaan
mereka, bukannya dibubarkan, departemen kebudayaan dan pariwisata mengajak
bekerjasama. Lembaga mereka legal, tapi tetap rahasia. Sampai dua tahun lalu,
Ayah dan Ibu Tika meninggal dalam kecelakaan pesawat. Bagi Tika tentu saja itu
mimpi buruk, mimpi yang sangat mengerikan. Ibunya seorang Ibu yang ceria dan
penuh perhatian, mengajarinya menjadi perempuan yang anggun dan menarik, tapi
berani dan keras kepala. Tapi semuanya hilang dalam sekejap..
"Udah, Shh..Nggak apa-apa, lo aman.. Shh" Tika membuka
matanya, tapi merasa dadanya sesak, dia mengejang dan memberontak. Pelukan Dio
malah mengerat "Sayang, sayang ini gue" Suara lembut Dio merasuk ke
bawah sadar Tika, Tika mengerjap. Tubuhnya melemas, di depan wajahnya sudah ada
wajah Dio yang menatapnya khawatir. Tika langsung memeluk Dio erat dan menangis
dalam diam. Dio menunggu beberapa saat, dia membiarkan Tika tenang. Sejak
orangtuanya meninggal, Tika sering bermimpi buruk. Dio pertamakali
mengetahuinya saat akan meminjam barang di kamar Tika, tubuh Tika mengejang dan
bersimbah peluh seperti sekarang.
"Lo nggak apa-apa?" Tanya Dio saat Tika melepas
pelukannya.
Tika menggeleng, "Gue nggak apa-apa, nggak apa-apa"
"Gue bisa temenin lo tidur kok" Dio tersenyum jahil, Tika langsung melotot.
"Apa nih? Mengambil kesempatan dalam kesempitan? Sejak kapan lo
genit begini?" Tika sudah bisa berbicara dengan lebih tenang, memang itu
tujuan Dio. Mengalihkan perhatian.
"Sejak sama lo gue jadi genit. Karena ini salah lo, jadi terima
aja" Tika terdiam, "Gue bakal jagain lo, udah tidur lagi ya? Atau lo
mau apa? Minum? Gue peluk lebih kenceng apa gue cium?"
"Nggak usah! Gue mau begini aja" Tika tahu Dio tersenyum.
"Tapi jangan macem-macem" mereka terdiam lagi, Tika mencoba
memperbaiki posisinya. Dia menggeser tubuhnya ke tengah ranjang, Dio yang masih
memeluk tubuhnya mengikuti. "Jangan kenceng-kenceng meluknya! Lo pengen
gue mati muda?" Dio terkekeh dan melonggarkan pelukannya. Tika lalu
memejamkan mata, mencoba bernapas teratur dan menenangkan diri. Dia tahu selama
ada Dio dia aman.
Melihat Tika sudah terlelap, Dio tersenyum lega. Sekarang dia yang
tidak bisa tidur, bagaimana bisa tidur kalau ada perempuan yang sangat
disayanginya tidur dipelukannya? Gadis yang sangat ingin dijaganya. Dio
mendesah bahagia, dia hanya akan tinggal di kamar Tika sampai Tika benar-benar
tidur. Setelah itu dia akan kembali ke kamarnya. Dio mengamati wajah gadis itu,
mencoba mencium kening Tika, tapi baru dalam perjalanan Tika langsung berseru
tetap dengan memejamkan mata.
"Jangan cium kening gue, atau besok lo nggak selamet"
***
Keesokan harinya mereka mendapat kabar buruk. Nathan menghilang,
tidak dapat dihubungi, bahkan data GPS tidak dapat menunjukkan keberadaan
Nathan dimanapun.
"Nathan udah ditemukan Bun?" Tanya Dio khawatir, tadi pagi
saat baru saja bisa tidur satu jam, Dia dikejutkan oleh suara alarm SOS di
seluruh ruangan rumah. Pengirimnya adalah Nathan, tapi setelah itu tim di
markas kehilangan Nathan.
Ibunya menggeleng lemah "Dia nggak ada di manapun, tim kita
sudah mencoba menghubungi pihak kesultanan, tapi nihil"
"Maksud tante?" Tika yang dari tadi diam memperhatikan,
bersuara.
"Tiba-tiba telepon mereka tidak bisa dihubungi, sibuk, dan
bahkan kadang tidak bisa ditemukan"
"Biar aku kesana Bunda" Dio sudah akan beranjak, tapi
dicegah oleh Ibunya.
"Jangan.."
"Jangan kenapa? Bunda nggak khawatir sama Nathan?" Dio
tidak habis pikir.
"Bunda nggak mau mati khawatir, Nathan hilang saja Bunda sudah
sangat ketakutan. Apalagi ditambah kamu"
"Bunda.."
"Jangan Dio, please.
Tolong Bunda, Bunda sayang kalian"
"Please Bunda"
Dio menatap Ibunya sungguh-sungguh, lalu mengulangi perkataannya lagi "Dio
janji bakal baik-baik aja" Dengan berat hati akhirnya Ibunya mengangguk.
***
"Apa maksudnya nih?" Tika mengacung-ngacungkan tiket
pesawat yang cuma ada 2 lembar, satu atas nama Dio dan satu lagi atas nama
Bram.
"Itu tiket, buat ke Jogja" Jawab Dio santai sambil memilih
alat dan senjata canggih untuk pergi ke Jogja. Dia tidak tahu apa yang akan
menantinya di sana, jadi lebih baik disiapkan dengan maksimal.
"Maksud gue, mana tiket gue?" Tika kesal, Dio seperti tak
acuh menanggapi pertanyaannya. Dia melirik tiket kedua tiket itu lagi dan
langsung merasa kesal, Bram. Bram? Kenapa agen tengil itu bisa ikut dalam
perjalanan ini dan dia tidak?
"Gue nggak tahu, kan itu urusannya Loli, mungkin dia disuruh
Bunda"
"Loli bilang yang mau itu lo!" Akhirnya Tika membentak
Dio. Dia mau ikut, bukan, dia HARUS ikut! Dia tidak akan melepaskan Dio
sendirian tanpa dirinya. Dia tidak bisa, mereka selalu bersama sejak kecil.
Rasanya Tika tidak sanggup.
Dio mendesah, selesai dengan barang pribadinya sekarang dia akan
mengurus masalah pribadinya "Sayang" Tangan Dio yang ingin mengusap
kepala Tika ditepis, tanda kalau Tika sedang marah besar "Sayang, ini
berbahaya. Kita nggak tahu pasti apa yang ada di Jogja itu, tapi buktinya
Nathan hilang. Jadi---"
"Gue-harus-ikut! Titik!" Dio sudah akan menyela, tapi tika
melanjutkan "Emang lo pikir gue nggak bisa? Gitu? Kita juga sering kan
ngadepin yang bahaya dan kita berhasil. Gue nggak bakal nyusahin lo kok"
"Ini bukan masalah nyusahin. Ah udahlah pokoknya lo nggak bisa
ikut, di sini aja sama Bunda. Biar gue sama Bram aja yang ke Jogja" Dio
merebut tiket perjalanannya dari Tika. Hal yang cukup mudah.
"Kenapa sih? Gue nggak mau! Gue mau ikut lo"
"Nanti lo malah ngerusak semuanya!" Tika langsung terdiam
"Lo itu ceroboh, pasti lo nanti berbuat bodoh" Dio menghela napas
sebelum melanjutkan "dan gue nggak lupa, Nathan hilang juga gara-gara lo.
Lo nolak keinginan gue dan malah nyuruh Nathan" Dio berusaha sekuat tenaga
agar tidak menggumamkan maaf. Dia tidak pernah menyalahkan Tika atas apapun
yang terjadi pada Nathan atau kejadian-kejadian yang menimpanya. Dio hanya
ingin Tika di rumah, hanya ingin Tika aman. Dia tidak tahu apa yang
menghadapinya di depan, jadi dia tidak akan mengambil resiko dengan mengajak
Tika juga.
"Lo,, jadi maksud lo gue pengganggu?" Tika sudah akan
menangis, tapi ditahannya "Fine!
Pergi aja sana!" Tika langsung pergi
Dio mendesah pasrah, ini memang keinginannya, tapi berpisah dengan
Tika juga bukan sesuatu yang disukainya.
Besok semuanya akan jelas, sampai sekarang pihak kesultanan tidak
bisa dihubungi. Semua sistem komunikasi tidak dapat menjangkau daerah itu. Dio
penasaran sekaligus waspada, apa yang sebenarnya terjadi?
Keesokan harinya Dio dan Bram berangkat menuju bandara dengan
diantar Pak Darmawan. "Segera hubungi kalau ada sesuatu yang mencurigakan,
tetap berkomunikasi dengan markas" Pak Darmawan memandang Dio lagi lalu
menepuk bahunya "Semoga berhasil boy!
" Dio mengangguk, tapi pandangannya fokus ke arah lain. "Kamu
cari siapa? Tika? Kalian masih berantem ya?" Dio memandang Ayahnya heran,
sepertinya tidak ada yang bisa dirahasiakan di rumahnya.
Dio kembali mengangguk, lalu berkata "Salamin buat Tika ya Yah,
Dio pergi" Setelah berpamitan Dio dan Bram langsung pergi.
***
Tring Tring,
Adrian, teknisi yang saat itu berjaga langsung terkejut melihat
layar yang berkedip, "Kita terhubung dengan keraton!" Teriaknya
Semua langsung bergegas mendekat padanya, Tante Murni juga langsung
masuk ke markas. "Segera lakukan komunikasi, kita harus tahu apa yang
sebenarnya terjadi"
"Baik" Jawab Adrian lalu segera memproses perintah
atasannya.
"Brian, segera cari data-data yang kita lewatkan selama 24 jam
terakhir setelah Nathan menghilang"
"Baik" Jawab Brian salah satu staff ahli juga, Brian
langsung sibuk dengan peralatannya. Tika juga langsung ke markas,
"Tante?"
"Tika, Kita sudah bisa berhubungan dengan keraton"
"Beneran Tante?"
"Iya sayang, kita sekarang bisa minta konfirmasi. Semoga Nathan
ketemu"
"Amin" Semua harapan kembali muncul. "Aku bantuin mas
Adrian ya" Tika mendekat ke arah Adrian dan membantu menghubungi keraton,
sementara Adrian membantu Brian. Tika mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja,
menunggu sambungan.
"Ha--" Tubuh Tika menegang mendengar serentetan kata-kata
yang diucapkan lawan bicaranya. Dia menoleh ke arah Tante Murni. "Tante,,
tante harus dengar ini" Suaranya bergetar, kemudian dia menekan tombol loudspeaker.
***
Dio akhirnya sampai di Jogja, perjalanan kali ini terasa kurang.
Biasanya dia akan menjahili Tika saat terbang, karena Tika takut mengingat
kecelakaan kedua orangtuanya. Dio akan memeluknya tiba-tiba, tapi sekarang?
Masa dia memeluk Bram?
"Dio, kita sudah dijemput" Dio yang sedang mengecek HP dan
jaringan GPS-nya yang ternyata sekarang berfungsi mengangguk. Mereka memang
dijemput oleh agen DPN yang bertugas di Jogja. Ternyata mereka ada gunanya
juga.
"Bram, kita bisa langsung ke keraton? gue udah nggak sabar nih.
HP gue berfungsi, jadi kemungkinan komunikasi keraton juga berfungsi. Di sana,
kita juga bisa berhubungan dengan markas, lo juga musti laporan kan?" Bram hanya mengangguk, tapi langsung mengambil
alat-alat komunikasi yang dibawa Dio.
“Kata mereka kita tidak boleh membawa alat
komunikasi, keadaannya sepertinya gawat”
“Tapi----“
“Saya yang lebih tahu” Kata Bram tegas. Dio merasa
kalau Bram mulai memegang kendali, apa gunanya kalau mereka berdua tanpa markas
yang serba tahu, mereka bisa saja ditipu keraton, bisa saja. Sepertinya karena
Dio bukan seorang agen, Bram memandangnya sebelah mata. Sialan! Kalau dia sebegini nggak bergunanya, gue ajak aja Tika. Bodoh!!
Yayaya,, Dio, penyesalan selalu datang di akhir.
***
Tuutt,,, tuuutt...
Tika kesal. Kenapa di saat penting seperti inidia
tidak bisa menghubungi Dio. “Nggak bisa Tante, Dio nggak ngangkat teleponnya”
“Bram juga tidak bisa dihubungi” Jawab Adrian.
“Ini masalah gawat, medan magnet di tempat Nathan
menghilang bisa tiba-tiba datang dan pergi dan kita tidak tahu dimana ujung
medan magnet yang mungkin saja berupa portal itu. Kita harus memperingatkan
mereka. Lagipula peralatan mereka tidak memadai, kita harus mengirimkan
peralatan dan persenjataan yang tidak akan hilang dan rusak saat terkena dampak
medan magnet.”
“Lalu bagaimana?” Tanya Om Darmawan
“Aku sudah menyuruh Adrian membuat alat-alat itu,
dan mungkin kita butuh orang yang lincah, pintar menyelinap, dan keras kepala agar Dio mau
mendengarkan”
“Aku aja”
No comments:
Post a Comment