Judul : Filosofi Kopi
Pengarang: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
Terbit: Januari 2012
Jumlah Halaman: 140
Filosofi Kopi menyuguhkan karya sastra yang mengagumkan, kata-kata yang
dirangkai Dee, walaupun baku, tapi tidak terasa membosankan. Melalui
cerita-ceritanya yang terasa jujur dan tidak terkesan menggurui, Dee membuat
kita bisa belajar tentang banyak hal dalam hidup. Delapanbelas cerita dan prosa
yang dibukukan ini berisi tentang cerita dan prosa Dee selama sepuluh tahun.
Kenapa disebut cerita dan prosa? Jawabannya adalah karena di dalamnya ada
cerita yang terlalu pendek untuk disebut cerpen, ada cerita yang terlalu
panjang untuk disebut cerpen, ada cerpen kepuisi- puisian atau puisi setengah
prosa seperti yang dikatakan Dee dalam cuap-cuap penulis. Kedelapan belas
cerita tersebut antara lain: Filosofi Kopi (1996), Mencari Herman (2004), Surat
yang Tak Pernah Sampai (2001), Salju Gurun (1998), Kunci Hati (1998), Selagi
Kau Lelap (2000), Sikat Gigi (1999), Jembatan Zaman (1998), Kuda Liar (1998),
Sepotong Kue Kuning (1999), Diam (2000), Cuaca (1998), Lara Lana (2005), Lilin
Merah (1998), Cetak Biru (1998), Buddha Bar (2005), dan Rico de Coro (1995). Genre
yang diangkat Dee dalam bukunya kali ini beragam, mulai dari romance (Surat yang Tak Pernah Sampai,
Selagi Kau Lelap, Sikat Gigi, Mencari Herman, Sepotong Kue Kuning, dan Lara
Lana) sampai fantasi romance (Rico de
Coro).
Salah satu cerita yang saya suka adalah Selagi Kau Lelap (2000), halaman
52, yang mengambil sudut pandang seorang
lelaki yang mencintai seorang perempuan secara diam-diam dan membayangkan
perempuan itu sedang tertidur menghadap ke kiri. Laki-laki itu merasa iri
terhadap benda mati dan hewan kecil yang berada di sekitar si perempuan.
Bajunya, gulingnya, bantalnya dan akhirnya berharap si perempuan akan bermimpi
bersamanya. Penceritaan yang akan membuat pembacanya benar-benar menyaksikan si
perempuan tertidur dan benar-benar berharap bahwa keinginan dari si laki-laki
akan terkabul. Dee membawa kita memperhatikan hal-hal yang kadang tidak
terpikirkan seperti iri terhadap benda mati yang kadang lebih dekat daripada
manusia sendiri.
Di lain sisi, ada beberapa cerita dalam buku ini yang menurut saya kurang
bisa dimengerti sehingga harus dibaca berkali-kali agar bisa dipahami. Seperti
Cetak Biru (1998), Cuaca (1998), Jembatan Zaman (1998), dan Diam (2000).
Menurut saya dalam keempat karya sastra tersebut memiliki kata-kata yang
terlalu samar atau kias, sehingga saya kurang bisa menangkap maknanya saat
pertamakali membaca.
Contoh: .....Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan makin
dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang
bersinar. Entah menghangatkan, atau menghanguskan (Cuaca- 1998)
Jika dilihat dan dibaca ulang, maka baru bisa dipahami kalau maksud dari
cuaca adalah perasaan kita dan kita sering berbohong kalau kita baik-baik saja.
Maksud dari kejujuran yang menghangatkan dan kejujuran yang menghanguskan adalah
keadaan nantinya saat kejujuran sudah dipojokkan, bisa saja kejujuran itu
mendukung kita, atau malah menghancurkan kita nantinya.
Jadi kesimpulannya, Filosofi kopi akan mengantarkan kita kie suatu
gerbang baru pemikiran kita. Maksudnya Filosofi kopi akan membuat kita berpikir
dengan cara baru, dari sudut pandang yang berbeda, yang kadang tidak perlu
dipahami logika, tapi diresapi oleh hati.
No comments:
Post a Comment