Yeii,, akhirnya selesai juga,, ini part tekhir protect me!!
Selamat membaca!!
Tokk Tokk,,, Aku
bermimpi ada seseorang yang mengetuk pintu.
Klek, itu bunyi
pintu kamarku yang terbuka.
seseorang mengusap
rambutku, ternyata ini bukan mimpi.
"Buuu, Lima
menit lagi" aku mengerang dan menarik selimut menutup muka.
"Udah jam
berapa nih? Nanti telat lho, sayang"
"Iya.."
Hah? Bukan suara Ibu? Suara kak Lio? Aku langsung bangkit.
"Pagii"
Dia tersenyum, melihatku masih bengong dia menambahkan "Pagi sayang, kok
bengong sih?" aku langsung menutup mukaku dengan selimut dan merapikan
rambutku. "Eh kenapa sih? Buka nggak?" Dia menarik-narik selimutku.
"Jangan!"
"Kenapa
sih?"
"Kak Lio
jahat banget sih? Gue malu tau! Masih berantakan" Aku mendengar dia
terkekeh, sialan! Malah diketawain.
"Kayak gue
nggak pernah liat lo begini aja? Gue kan pernah liat yang lebih
berantakan" Sekali lagi dia mencoba menarik selimutku, kali ini berhasil.
Dia menarikku, mencium keningku cepat "Udah, cantik deh, sekolah
dong!"
"Iyaaa,, tapi
keluar sana!" Aku mendorongnya, Kak Lio hanya tertawa lalu keluar. Ah malu!
Kalian nggak tahu
ya? Aku.. Akuu... Aku baru jadian sama Kak Lio tadi malam.
Flashback
“Arghhhh, gue ucapin sekali aja ya? Gue sayang lo”
“Hah?”
"Udah gue nggak mau ngomong" Kak Lio beranjak berdiri. Aku
menahan tangannya.
"Eh kakak nomong apa sih?" aku mengulangi pertanyaanku.
Dia langsung mencium bibirku singkat.
Brak
"Eh jangan macem-macem sama adek gue!" Kak Dimas tiba-tiba
keluar ke halaman lagi. Menantang Kak Lio.
"Apa sih Dim?" Tanya Kak Lio kesal "Lo sendiri bilang
gue suruh cepetan, malah lo ganggu!"
"Tapi nggak pake cium juga! Gue belum rela"
"Percaya deh sama gue, gue udah mau nunggu 4 tahun buat dapetin
dia, masak mau gue sia-siain?" Aku
semakin merasa bingung. Kenapa sih dua orang ini hobi sekali membuat orang
bingung? "Udah deh, lo masuk aja!" Kak Lio mendorong tubuh Kak Dimas
masuk.
Kak Dimas menoleh ke belakang, berteriak. "Awas kalo lo
macem-macem lagi! Gue panggang lo! Dinda jangan mau diapa-apain! Jangan gampang
dirayu mukanya Lio! Inget!"
Setelah Kak Lio berhasil mendorong Kak Dimas, dia berbalik menatapku
lagi "Balik ke pembicaraan kita tadi. Menurut lo, apa arti yang
tadi?" aku masih bengong dan tidak bisa berkata apa-apa, membatu. Dia
terkekeh, tadi itu apa? Aku refleks meraba bibirku. "Udah ah, kayaknya lo
belum siap. Lo nggak perlu ngomong apa-apa, gue bakal nungguin lo" Dia
mencoba berbalik, aku menahannya dan langsung memeluknya, dia membalas
pelukanku. Aku inging semuanya jelas.
"4 tahun?" aku tidak memerlukan jawaban, tapi Kak Lio
mengangguk "Itu lama banget, jadi ini maksud Vei? Gue berarti emang
pengganggu Kakak sama Vei. Kok gue yang udah lama banget sama Kakak nggak
sadar?"
"Hehehehe" Kak Lio kembali tertawa pelan, mengurai
pelukannya lalu mengusap rambutku "Lo antik sih ya? Masih kecil juga"
"Emang bener Kak Lio suka sama gue?"
Dia menghela napas lalu memandangku, memandang mataku "Gue
pernah punya pacar?" aku menggeleng "Pernah cerita kalo gue suka sama
cewek?" aku menggeleng "Gue pernah jalan sama cewek lain selain
lo?" Aku kembali menggeleng, hidup Kak Lio berputar di sekitarku. Dulu
saat Kak Lio masih sekolah, kami selalu pulang dan berangkat bersama. Kak Lio
selalu mengantarku kemana saja, bergantian dengan Kak Dimas. Kak Lio selalu
menemaniku saat dia tidak sibuk, mencari waktu untuk melihatku. Kak Lio selalu bersamaku. Selama ini Kak Lio
menungguku?
"Kak Lio kenapa baru bilang sekarang?"
"Gue udah bilang pas lo lulus SD dan lo bilang lo juga sayang
sama gue, jadi secara nggak lo sadari
kita udah jadian" tambah Kak Lio
sambil mengedipkan matanya. Jawaban macam apa itu? Aku ingat waktu itu, aku
lulus SD dan Kak Lio menemuiku. Dia memang mengatakan kalau dia sayang padaku
dan aku juga, tapi kan itu waktu aku SD! Apa sih yang bisa dipikirkan anak
polos sepertiku? Aku dulu berpikir sayang yang biasa saja, Kak Lio itu kakakku,
ternyata Kak Lio sudah menganggap lain.
Tanpa berpikir ulang aku berbicara, "Aku juga sayang
kakak"
Muka Kak Lio kaget sekali, aku mengangguk mantap. Dia hanya bengong.
Aku menambahkan, "Setiap inget kakak jalan sama Vei, atau
misalnya cewek lain aku nggak rela. Nggak rela banget. Kak Lio cuma
punyaku" Kak Lio akhirnya bereaksi dengan kembali memelukku erat lalu
melepaskannya cepat.
"Yes! Akhirnyaaaa" teriaknya sambil loncat-loncat, sumpah!
Aku jadi bengong sendiri, ishhh! Ini kak Lio yang cool itu? Yang galaknya super banget, yang suka
ngomel, yang jahil? Ternyata lebih anak kecil daripada aku.
Kak Lio kemudian berjalan mendekat ke arahku dan memegang bahuku.
"Sekarang kamu resmi jadi pacar aku, jangan macem-macem dan sok centil ya
sama cowok-cowok lain! Sayang" Senyumnya manis sekali, tapi aku masih
sanggung. Dia memanggilku sayang? Terus aku harus manggil dia apa dong?
Ngomongnya pakai aku kamu kayak tadi?
Aku langsung terdiam. "Ehmm,, kita nanti pake Aku kamu kak??"
Dia mengernyit heran lalu berpikir sebentar, "Kamu belum nyaman
ya? Yaudah pelan-pelan aja"
Diam-diam aku bernapas lega, aku memang menyukainya, sayang, tapi
aku masih canggung, dia sekarang pacarku?
"Tapi sekarang latihan dulu buat yang pertama kali, bilang aku
sayang kamu, coba?" hah? Kak Lio?
"Ishh,, kakak kenapa sih? Malu tauu,,"
"Sekali aja, kalo nggak, nggak aku ijinin masuk sayang, sayang,
sayang,, yaaang,, sayang"
"Argghhh,, iyaa iyaa, iyaa,, ampunn.." aku malu sekali
disapa sayaang,,, ughh!
"Yaudah buruan ngomong, sayang" Kak Lio kembali
mengedip-ngedipkan matanya.
"Aku... Akuu,, aa.. Akuu sayang kamu" aku langsung berlari
ke atas dan masuk kamar, terdengar suara Kak Lio yang tertawa keras. Sepertinya
dia senang sekali melihatku menahan malu
***
"Dindaaa,,
cepetaaan.. Lio mau nganterin kamu nih" Terdengar suara panggilan Ibu, aku
dengan cepat merapikan rambutku dan memberi sentuhan lipgloss terakhir.
"Iyaaa,,"
Aku dengan cepat menuruni tangga. Aku tersenyum memandang Kak Lio, tapi senyumku
menghilang cepat karena dia berkata, "Hai, sayang, ayo makan" Ihhh,,
Aku kan masih maluuu,,
Ibu dan Ayah, hanya
tersenyum simpul. Sementara Kak Dimas pura-pura cuek, sepertinya dia masih
marah untuk urusan Kak Lio yang menciumku tadi malam. Aku segera duduk di
samping Kak Lio, aku gugup sekali, sekarang Kak Lio itu pacarku, aku harus
bagaimana?
Kak Lio hanya
tersenyum melihat tingkahku, lalu berkata "Ayah, Ibu" Katanya sambil
memandang mereka satu persatu, Ayah dan Ibu mengangguk sambil tersenyum. Pandangan
Kak Lio beralih ke Kak Dimas "Kak Dimas.." Sumpah Aku ingin tertawa melihat muka Kak Dimas yang
datar. Tatapan mata Kak Dimas mengatakan 'Siapa yang mau dipanggil kakak sama
lo?' itu menjawab sapaan Kak Lio "Mulai sekarang, aku pacaran sama Dinda,
semoga semuanya senang dan setuju. Aku janji akan bahagiain Dinda, marahin dia
kalau dia bandel nggak mau makan, jagain dia, dan yang pasti, sayang sama
Dinda" aku hanya bisa menahan napas di setiap kata yang diucapkan Kak Lio.
"Kalau Lio nyakitin Dinda, Ayah, Ibu, sama Kak Dimas harus yakin, Lio
nggak bermaksud seperti itu. Lio sayang sama Dinda, jadi Lio akan melakukan
yang terbaik" Kak Lio mengakhiri kata-katanya, Ibu langsung bangkit sambil
bertepuk tangan sambil bersorak.
"Dindaaa, Ibu
iri sekali sama kamuuu" Ibu lalu menarik Ayah berdiri dan langsung
merangkulnya, "Semoga nanti kalian bisa seperti Ayah sama Ibu ya? Iya kan
yah?" Bunda main serobot mencium pipi ayah, Ayah hanya tertawa dan
menanggapi, "Tapi kalian jangan lupa kewajiban ya? Dinda belajar yang
bener, Lio juga" Aku hanya geleng-geleng, senang sekaligus malu, aku
semakin menyayangi Kak Lio.
Semua mata
sekarang mengarahkan pandangannya pada Kak Dimas, dia belum mengucapkan
sesuatu, sadar kalau dipandangi, dia berdehem "Gue oke kok sama kalian,
cuma gue nggak mau dipanggil Kakak sama Lio, enak aja, tuaan dia tauk!"
Kami semua tertawa mendengar omelan Kak Dimas yang kekanak-kanakan.
***
Srett,,,
Bunyi gesekan ban
mobil dengan aspal mengantarkanku sampai ke sekolah.
"Jangan lupa
pulang sekolah gue jemput, jangan lupa minta maaf sama Bita, kan sahabat harus
cepet baikan, jangan jajan sembarangan, jangan minum es lagi sekarang aja
tenggorokannya udah sakit, jangan.." cupp!
Aku mencium
pipinya singkat, "Bawel ihhh,," Aku memeletkan lidah dan membuka
pintu untuk keluar "Daa kakakk" Aku melambaikan tangan lalu berlari
menuju kelas, meninggalkan Kak Lio yang bengong. Sekolah sudah ramai karena
sekarang sudah pukul setengah tujuh. Aku mencari-cari Bita, tapi tidak ketemu
sampai bel masuk berdering. Aku mengambil BB dari kantung seragamku, tapi hanya
kupandangi. Aku ragu, nanti Bita masih mau mengangkat teleponku? Setelah 15
menit memandangi nomor Bita, akhirnya aku memberanikan diri meneleponnya,
dering pertama, kedua, sampai deringnya mati Bita tidak mengangkat teleponku.
Aku mencoba sekali lagi, tetap tidak diangkat. Mungkin Bita sibuk, atau dia
masih marah padaku??? Aku berhenti mencoba meneleponnya karena guru
matematikaku sudah datang. Sepanjang pelajaran yang memang sulit, aku semakin
tidak mengerti karena konsentrasiku terbelah. Ditengah - tengah lamunanku
tentang x dan y BB di kantungku bergetar, aku mengambil dan melihat layarnya,
Bita? Aku segera izin ke guruku untuk ke toilet, aku berlari terburu-buru,
takut kalau teleponnya keburu putus.
"Ha..
Lo" kataku terputus saat sampai di toilet.
"Halo
manis?" aku langsung berdiri tegak setelah mendengar siapa yang menyapa.
"Ve.. Vei??"
aku ingin sekali salah dengar, tapi aku diyakinkan dengan suara yang begitu
jelas.
"Iya manis,
kaget?" sayup-sayup aku mendengar erangan dibelakang suara Vei.
"Itu
Bi,," sebelum aku selesai mengatakannya, terdengar suara brak!
"Diem nggak
lo? Diem! Diem diem!" Terdengar suara bergantian antara benda dipukul,
teriakan tertahan, dan bentakan Vei. Kemudian tidak lagi terdengar suara, aku
menahan napas."Adik tiri gue itu emang nyusahin ya,," suara Vei
kembali terdengar.
"Lo apain
Bita? Dimana lo?" Vei malah tertawa mendengar nada mendesakku.
"Bisa juga lo
galak, kesini lo, gue tunggu. Sendiri! Kalo lo nggak mau sahabat tercinta lo
ini.. lewat" lalu Vei menyebutkan alamatnya, aku segera berlari ke UKS
untuk meminta surat izin pulang. Melihat wajahku yang sudah pucat karena
mendengar kabar dari Vei, perawat percaya kalau aku sakit. Aku keluar dari
gerbang sekolah dan langsung mencegat taksi, aku tidak akan memberitahu Kak
Dimas atau Kak Lio, aku takut Bita akan semakin terancam.
***
Duapuluh menit
kemudian aku sampai di depan rumah kosong di pinggiran kota, rumahnya sepi
sekali.
BB di kantung
seragamku bergetar lagi. Sebelum aku sempat mengucapkan halo, sebuah suara
memotongku, "Bagus, lo dateng sendiri" aku tidak heran kalau Vei
mengawasiku dari dalam rumah berukuran sedang ini. "Lo masuk
cepetan!" aku langsung membuka pagar yang tidak terkunci, dan masuk ke
halaman lalu terus menuju pintu depan. Aku membuka pintu yang ternyata tidak
terkunci juga. Aku masuk, tapi sebelum menutup pintu seseorang menutup pintu
dengan keras, aku terlonjak lalu berbalik. Vei disana mengunci pintu, berbalik
padaku dan dengan tiba-tiba langsung memukulku dengan tongkat baseball, membuatku tidak bisa mengingat
apapun setelahnya. Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan, aku tersadar karena
mendengar suara yang semakin lama semakin terdengar jelas,
"Dinda?
Din?" Aku membuka mata, ternyata tadi suara Bita yang berbisik
memanggilku. "Lo nggak apa-apa?" tanyanya, wajahnya terlihat
khawatir. Aku langsung tersadar penuh, meringis sakit saat menggerakkan
leherku, tempat pukulan Vei tadi. Aku juga diikat di sebuah kursi di samping
Bita. Melihat wajah Bita sekali lagi membuatku ngeri dan sedih, wajahnya penuh
luka, sudut bibirnya pecah memar-memar di bagian pipi, dia juga diikat.
"Lo diapain
aja?" tanyaku serak, kenapa Vei segini teganya pada Bita? Wajah Bita
langsung berubah, dia menahan tangis "Ini gara-gara gue sama Kak Lio
ya?" tanyaku sekali lagi. "Iya kan? Bit? Kenapa Vei tega banget sama
sodaranya?"
"Nggak kok,
nggak. Kak Vei aja yang lagi kesel" Kelihatan sekali, Bita berbohong untuk
menenangkanku, kenapa dia begini baik? Masih juga memanggil Vei dengan sebutan
kakak.
"Bit, gue
minta maaf. Semua gara-gara gue sama Kak Lio. Nggak seharusnya lo menanggung
ini semua" suaraku lirih, aku ingin menangis. "Gue juga minta maaf
soal kemarin"
"Minta maaf
kenapa?"
"Masalah
kemarin, foto itu. Gue sekarang tau kalo itu semua kerjaannya Vei. Tapi kenapa Vei
masih bebas? Kata Kak Lio, Vei udah diamanin. Gue,, gue nggak tega ngeliat lo
begini gara-gara gue Bit" Pertahananku jebol, airmata jatuh satu persatu
di pipiku.
"Jangan
nangis! Please! Nggak usah dipikirin.
Gue juga minta maaf, gue nurutin kemauan Kak Vei. Gue terpaksa, lo tau kan? Lo
tau kan? apa yang bisa Kak Vei lakuin?" Kata Bita sesenggukan sambil
menggerakkan kepalanya pada kami yang diikat di kursi "Tadi malem dia
ngamuk di rumah, terus gue diseret ke sini. Gue,, gue dipukulin" Aku tidak
habis pikir, Vei memang psikopat. Apa ini semua gara-gara Kak Lio saja? Aku
semakin merasa bersalah pada Bita, ini memang gara-gara aku.
"Sekarang Vei
dimana?"
"Gue denger
tadi dia ditelepon, terus pergi" tiba-tiba Bita terisak "Gue bingung
gimana caranya kita keluar. Kita nggak bisa ngelawan Kak Vei. Gue udah nggak
tahan, gue mau pulang"
"Maafin gue,
tahanin bentar ya Bit. Sekarang udah sore, semoga Kak Lio bisa nemuin kita,
maafin gue ya Bit"
Kak Lio tolong!
***
Aku dan Bita
terdiam dalam waktu yang cukup lama, kami sama-sama berpikir apa yang harus
kami lakukan, bagaimana ini semua bisa cepat berakhir? Aku tidak tahu jam
berapa sekarang, tasku tergeletak di meja sudut, di sampingnya terlihat BB-ku
yang sudah hancur dihantam tongkat baseball.
Klek,
Suara pintu tebuka
lalu terkunci terdengar. Aku mendengar langkah kaki yang terburu-buru mendekat,
Vei disana. Vei berjalan semakin mendekat kearahku, wajahnya terlihat marah.
"Aaawww,,
aduhhh,," Tiba-tiba saja dia menarik rambutku dengan kuat.
"Lo! Lo udah
jadian sama Lio? Lo emang cewek nggak tau malu ya? Kenapa lo ngerebut cowok
gue? Lo nggak bisa ya cari cowok lain? Lio itu buat gue" Darimana dia tau?
Dia baru bertemu Kak Lio? Aduhh,, Semakin lama dia berbicara, semakin kuat dia
menarik rambutku.
"Kak Vei!
Lepas!" Bita berteriak melihatku kesakitan. Aku sekarang merasa sebagian
rambutku yang ditarik Vei mulai rontok. "Kak Vei lepas!" Vei akhirnya
melepas tarikannya, benar saja, ada rambutku yang tertinggal di sela-sela
jarinya.
"Lo cewek
nggak berguna, penyakitan! Seharusnya lo mati!"
Plak! Plak!
"Aw,, sakit Vei,
sakitt.. Ampunn"
Dia menamparku
berkali-kali. Aku merasakan bibirku pecah, berdarah. Pusing!
Dia kemudian
mengeluarkan benda dari saku jaketnya, pisau lipat.
"Lo tau ini
tajem? Gimana kalo gue buat garis di sini?"
Sret!
Aku berteriak
tertahan, rasanya perih sekali. Bita sudah menangis di sebelahku, bau amis
darah tercium di hidungku, pusing sekali. Pipiku digores pisau Vei yang tajam,
memanjang ke bawah. Aku tidak tahu bagaimana bentuk wajahku sekarang. Aku butuh
Kak Lio, aku sudah tidak tahan.
"Vei, stop!
Berhenti berhenti berhentiiiiii!" aku berteriak histeris "Mau lo apa
sih?" aku terisak hebat, Bita di sampingku juga ikut menangis.
"Masih mau
tanya mau gue apa? Gue mau lo mati! Lio cuma buat gue, Ridho buat gue,, Ridho
buat gue,, Ridho nggak boleh mati,, Ridho nggak boleh jadi milik orang lain.
Dia buat gue!" Ridho? Siapa dia? Aku melirik ke arah Bita, dia menggeleng
sedih. Bita mengetahui sesuatu. Melihat Vei histeris begini, aku jadi merasa
kasihan. Siapa Ridho? Apa hubungannya dengan Kak Lio? "Dan Lo, lo udah
ngerebut dia dari gue! Nggak tau malu" Dia mulai menampariku lagi, kali
ini lebih keras.
Plak! "Ini
buat lo yang udah jauhin lio dari gue!"
Plak! "Ini
buat lo yang beraninya jadian sama Lio!"
Plak! "Ini
buat lo yang ngehalangin rencana gue"
Plak! "Ini
buat lo yang berani hidup di dan muncul depan gue!" Rasanya perih sekali,
tamparan bertubi-tubi menyerangku. Rasanya sudah tidak karuan, teriakan Bita
menjadi backsound-nya. Aku sudah
tidak sanggup berteriak atau terisak, hanya air mataku yang terus meleleh.
"Udah
cukup!" Teriakan kembali menggema, Vei menghentikan tamparannya. Seseorang
menahan tangannya yang sudah melayang di atas wajahku, aku mendongak
"Kak
Lio?" Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Lega, bahagia,
tapi mungkin lebih dari itu. Aku berada diantara keadaan sadar dan tidak sadar
memandangi Kak Lio, percaya atau tidak, aku merindukannya.
Vei terdiam di
tempat memandang Kak Lio ,aku menelan ludah, dengan sayang. Entah apa yang
terjadi pada Vei, tapi dia mendapatkan ketenangannya lagi. Kak Lio seperti
menahan diri untuk tidak memelukku, dia harus mengurus Vei lebih dulu.
"Vei?"
Panggilnya lembut "Vei?" panggilnya sekali lagi, setelah panggilannya
diabaikan. Vei mengerjapkan mata, lalu mulai merespon panggilan Kak Lio. Vei
menggenggam tangan Kak lio yang mencekalnya.
"Lio? Kenapa
di sini? Udah makan?" Perubahan sikap Vei terjadi lagi, seperti saat di
rumah Kak Lio. Vei seperti lupa segalanya, yang dia tahu hanya Kak Lio yang
sekarang ada di dekatnya. Kami semua terdiam, Kak Lio tiba-tiba memelintir
lengan Vei dan menguncinya.
"Lepasin!
Lepas! Lepasin!" umpatan dan makian meluncur dari mulut Vei, dari belakang
terlihat Kak Dimas berlari dan langsung menghampiriku. Sementara Vei terus
berteriak-teriak histeris.
"Lo nggak
apa-apa Din?" Aku mengangguk lemah, dengan sigap Kak Dimas melepaskan
ikatanku dan langsung memelukku saat semua ikatanku terlepas. "Maafin gue,
gue nggak bisa jagain lo" aku menggeleng sambil terus menangis. Kak Dimas
menghapus airmataku, aku mengangguk. Kak Dimas lalu beralih ke Bita, melepas
semua ikatannya.
"Lepasin gue!
Arghhh,, lepasin!" Vei terus bergerak liar. Kak Lio yang ada di
belakangnya mendapat sayatan di tangan kirinya, karena Vei ternyata masih
membawa pisau lipat yang tadi dipakainya untuk menggores wajahku.
"Arghh"
Dengan sekali sentak Vei berhasil melepaskan diri dan langsung berlari
kearahku, saat pisau Vei nyaris menggores wajahku lagi dia sudah diringkus oleh
beberapa orang, Kak Dimas salah
satunya. Mereka menggunakan baju berwarna putih, baju rumah sakit! Vei terus
meronta, tapi tentu saja kalah kuat dan akhirnya bisa dibawa pergi dengan ambulance.
***
Sebulan Kemudian
Semua kembali tenang, aku tetap bersekolah seperti biasa, Bita juga. Vei
ternyata mengalami depresi berat karena Ridho, pacarnya meninggal dalam
kecelakaan mobil. Sangat kebetulan, wajah Ridho dan Kak Lio itu mirip sekali,
bahkan seperti anak kembar. Sejak melihat Kak Lio untu pertamakali, Vei
langsung menyangka itu Ridho, atau penggantinya. Dengan segala cara Vei
mendekati dan mencoba mendapatkan kembali “Ridho”-nya, tapi selalu terhalang
karena ada aku. Aku jadi mengerti semua perbuatan Vei, sebenarnya Vei juga
menderita. Aku tahu semua cerita ini melalui Bita dan Kak Lio. Aku merasa,
setelah kejadian ini, aku dapat berpikir dari dua sisi, baik dan buruk. Baik menurutku
belum tentu baik orang lain, dan sebaliknya. Aku sedikit lebih dewasa, ehm
sedikit, karena pacarku yang satu itu tidak pernah menganggapku dewasa, aku
seperti bayi yang harus terus dilindungi, tapi aku suka.
Sangat suka!!!
Sebulan belakangan ini kugunakan waktu untuk memperbaiki hubunganku dengan
Bita dan terus meyakinkan Kak Lio, kalau aku baik-baik saja dan dia tidak
bersalah atas apapun yang terjadi padaku.
Flashback On
Setelah aku diperiksa dokter, dibalut luka-lukaku,
Kak Lio datang menghampiriku. Langsung memelukku. Tubuhnya terasa dingin, sayatan
di lengan Kak Lio juga sudah diobati.
“Maafin gue, maaf” Aku yang tidak mengerti hanya
diam “Kalau aja gue nggak ada di deket lo terus, kalo gue bisa sedikit aja
nahan diri buat nggak ketemu lo terus, Vei pasti bisa nahan diri juga, pasti
nggak begini” Aku mulai mengerti kalau kak Lio merasa bersalah atas semua yang
dilakukan Vei padaku. Tapi tentu saja ini bukan salahnya.
“Yang” Panggilku lembut, aku bisa terbiasa
memanggilnya sayang “Aku sayang kamu” Cukup tiga kata itu, apapun yang terjadi
aku akan terus menyayanginya. Dia telah
menjagaku bertahun tahun, He
protects me!! Dia menjagaku seumur
hidupnya, bersamaku dan selalu bersamaku. Tubuh Kak Lio bergetar seperti
menahan tangis, aku memeluknya semakin erat.
“Aku nggak tau gimana tadi kalau aku telat? Gimana
kalo Vei berbuat lebih? Aku takut, takut nggak bisa liat kamu lagi. Aku akan
merasa paling bodoh kalau sesuatu yang lebih buruk terjadi sama kamu”
“Tapi nggak ada apa-apa kan? Aku di sini, sama
kamu, yahh dengan beberapa luka sih, tapi yang paling penting dari itu semua,
aku bahagia” Kak Lio membalas ucapanku dengan membenamkan tubuhku lebih dalam.
Flasback Off
Ciuman kecil di pipiku menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum dan balas
menciumnya di pipi. Aku sedang berada di teras belakang, mendengarkan musik
dengan iPod ku. Dan aku tahu kata pertama yang akan dia katakan padaku,
“Udah makan?” Nah!! Aku dengan enggan menggeleng, aku lupa waktu karena
sempat tertidur di kursi ini dari tadi siang.
“Tuh kan, kamu tuh magh akut, makannya harus teratur,, bla bla bla..” Tidak
penting! Aku langsung mengambil tindakan, kupeluk lengannya dan bersandar di
bahunya. Menatapnya dengan wajah memelas.
“Suapin dong” Aku nyengir lebar, karena melihatnya mendesah menyerah. Aku
sekarang tahu kelemahannya, dia tidak tahan dengan wajah memelas dan tatapanku.
Ahhh aku akan selalu menang. Kak Lio, pacarku, berjalan masuk ke dapur untuk
mengambil makan siangku, atau makan agak sore, sekarang pukul tiga sore.
Aku pikir ini hampir sempurna, Aku, Kak Lio, Ibu, Ayah, Kak Dimas, Bita dan
semua orang di sekitarku. Berbicara, berdiskusi, bertengkar, ngambek, saling
menyayangi, menegur, meminta, dan memberi. Semua ini bisa terjadi karena ada
malaikat pelindung di sampingku, menjagaku agar aku tidak jatuh, atau malah
jatuh bersamaku. My guardian angel will
always protects me!!
“Yang, ayo makan!” Yak ayo makan sebelum pak tukang maksa ini ngambek ;)
THE END
4 comments:
horeeeee, akhirnya selesaiiii !! :D
yeyeyee happy ending :D
nice story kak :D
Makasih udah ngikutin dari awal sampe akhir, makasih udah nungguin juga,,,
Support kamu dan pembaca yang lain bisa bikin cerita ini selesai
*lebaii deh* :P
MAKASIH!!!
sama-sama :)
seneng bisa baca karya punya kakak.
ttp semangat yaaa :D
Makasiih :)))
Iya semangat!!! :D
*hugs*
Post a Comment