:)
My New short story,,
Enjoy IT!!
My New short story,,
Enjoy IT!!
Cintaku padamu dan Paris
berbeda.
Aku mencintaimu seperti aku
membutuhkan udara, tanpamu aku tidak bisa hidup. Mati.
Cintaku pada Paris seperti
aku membutuhkan surga dan neraka, tanpanya aku tanpa arah, tanpa tujuan, dan
akhirnya mati dalam kesia-siaan.
Bukankah kamu sudah tau ini semua? Kamu sangat tahu bagaimana aku
begitu memujamu, tapi mengapa kamu masih menyuruhku memilih antara kamu dan
Paris?
"Dila,, dilaa... Dil?? Hei?" suara Tania mengagetkanku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, wajahnya terlihat
khawatir.
Aku hanya menggeleng dan tesenyum. "Aku baik-baik aja, lagi
pusing mikir kerjaan"
Dia mengangguk "Kalo kamu ada masalah, ngomong ya?" lalu
dia pamit, wajahnya masih terlihat khawatir, aku mengangguk. Mungkin Tania
tidak memercayaiku, tapi dia mencoba percaya. Dia sahabatku.
Aku menghela napas kemudian mengedarkan pandangan ke sekitarku. Aku
sedang berada di kubikel kerjaku yang semua perabot dan peralatannya
berhubungan dengan Paris, khususnya Eiffel.
Vas bunga bergambar menara Eiffel, frame berbentuk Eiffel yang berisi fotoku dan sahabat-sahabatku,
foto Paris dengan sungai Seinenya yang menakjubkan, sebagian besar kubeli dan
kucari di Indonesia, tapi ada sebagian yang asli dari Paris hasil oleh-oleh
dari teman dan dia. Aku melirik kalung dengan bandul Eiffel yang menggantung di
leherku, pemberiannya setahun yang lalu. Suatu hari jika aku bisa ke kota
cahaya itu, aku tidak perlu sampai berkeliling Perancis, Paris lebih dari
cukup. Kota dengan semboyan fluctuat nec
mergitur (diterjang gelombang ia tak tenggelam). Paris yang itu, Paris yang ada di film Eiffel I'm in Love. Paris
yang merupakan kota terbesar di Perancis, Paris kota cahaya. Paris, impianku.
Aku ingin hidup satu bulan di sana, bukan hanya singgah. Aku ingin tinggal,
meresapi setiap detik di kota ini bersamanya, menyimpan aroma Paris, tapi
dengan kesibukan dan pekerjaan kami di kantor, aku tidak yakin. Aku sudah
menabung beberapa tahun ini,untuk pergi ke Paris, mungkin bersamanya. Atau
tidak.
***
"Assalamualaikum" ucapku saat membuka pintu rumah, tentu
saja tidak ada orang. Ayah dan Ibu tinggal di Bali. Jadi aku tinggal sendiri
kecuali kalau dia menginap karena menghawatirkanku yang tinggal sendiri, tapi
sepertinya tidak dalam waktu dekat atau tidak lagi selamanya. Aku tidak mengharapkan
ini, aku mengharapkan dia tetap di sini memelukku saat kami menonton DVD,
bersama memasak mie instan tengah malam, menyelimutinya karena harus tidur di
sofa saat menginap, atau kalau dia tidak malas akan memasakkanku makan malam.
Aku tidak bisa memasak, hal yang sangat disukainya.
"Aku suka kamu yang nggak bisa masak, satu-satunya hal yang aku
bisa menangkan" Cara berpikir yang sangat konyol, aku begitu memujanya.
Dia setampan dewa Yunani bagiku dan sangat cerdas, tapi dia selalu menganggapku
berlebihan.
"Oke! Anggap saja kamu benar, tapi kamu lebih. Kamu bisa
memilih barang apapun yang tepat buat aku, kamu mengurusku, menasehatiku,
mengerti aku. Kamu satu-satunya orang yang membuatku berhenti mencari, kamu
tujuanku. Kamu tahu apa yang membuatku sangat kalah dari kamu? Aku tidak bisa
melakukan apapun tanpa kamu. Jadi kamu masih menganggap aku lebih hebat?"
Aku saat itu hanya bisa terpaku, kini aku jadi memikirkan, bagaimana dia tanpa
aku? Bagaimana tidurnya? Dia sering mengalami insomnia. Bagaimana makannya? Apa
teratur? Dia suka melupakan makan saat sibuk bekerja. Hhh.. Apa yang baru saja
kupikirkan?
Kami seminggu yang lalu bertengkar karena dia cemburu pada Paris,
impianku, satu lagi kekonyolannya. Aku akan melakukan apa saja demi bisa ke
Paris dan menghadirkan lebih banyak Paris di sekitarku. Aku ingin lebih dekat
dengan Paris, tapi pakah dia tidak tahu, bahwa aku tetap lebih menginginkannya.
"Kamu tahu? Aku ingin
sekali jalan-jalan dengan kereta di sana, Gare du Nord. Stasiun simbol Revolusi
Industri yang lebih mirip katedral di abad 19"
"Di abad 19 juga
dibangun Eiffel, peringatan revolusi Perancis. Menara tertinggi di dunia sampai
tahun 1930" Dia hanya mengangguk, tidak seperti biasanya. Biasanya saat
mendengarku mengoceh panjang tidak jelas mengenai Paris dia akan memelukku
erat, menyembunyikan wajahku di dadanya, agar aku berhenti bicara atau malah
mengecup hidungku, perbuatan yang biasanya membuatku terdiam dan memerahkan
wajahku. "Kamu kenapa?" tanyaku sambil menggenggam tangannya.
Dia menatapku, tiba-tiba
hatiku terasa perih, tatapannya menyakitkan. Lembut, tapi menyesakkan "Aku tidak bisa, aku
berhenti" Dia mencoba bangkit, tapi kutahan.
"Berhenti apa?
Kenapa?"
"Aku tidak bisa hidup
dengan orang yang hidupnya hanya terpaku pada hal tertentu dan sangat
memujanya. Aku nggak bakal bisa menang dari Paris, walaupun aku punya nama yang
sama, Paris. Tapi aku tidak yakin bisa menang dari Parismu itu" Ya,
namanya Paris, sama dengan nama cita-cita dan mimpiku.
"Kamu bicara apa? Kamu
dan Paris itu berbeda. Aku cinta kamu, selalu" Dia kelihatan menahan
emosi, dia sudah bersamaku dua tahun, apa itu belum cukup? Apa dia masih belum
mengerti?
"Lihat! Semua barang
di rumahmu, di kantormu, bahkan di mobilmu. Semuanya berhubungan dengan Paris,
lalu apa gunanya ada aku? Aku tidak bisa menang melawan kota cahaya, karena
sinarku tidak sampai seperseratusnya, bahkan seperjutanya. Aku tidak akan
mendapat tempat disana, dihatimu, karena yang kamu butuhkan bukan Pariska Wisnu
Adilaga, tapi Paris yang jauh itu, yang letaknya di 48° lebih Lintang Utara dan
2° sekian Bujur Timur, yang mendapatkan julukan La
Ville lumière (kota cahaya). Lihat, aku
hapal diluar kepala apa yang kamu katakan tentang Paris, tapi pernah kamu
mengatakan sesuatu tentangku? Aku tidak percaya mengatakan ini, tapi aku
cemburu pada Parismu" Kalau saja dia tahu betapa seringnya aku
memikirkannya, dia tidak akan berani bertanya.
"Kamu sudah
selesai?" dia bergeming "Kamu sudah selesai?" suaraku meninggi,
dia masih diam "Aku tanya, kamu sudah selesai?" aku bertahan untuk
tidak mencakarnya "Kamu bertanya apa kamu berarti untukku? Aku jawab
sangat! Sangat Ris, Paris! Kenapa kamu masih mempertanyakannya?" Aku
menghapus air mataku, kenapa air mata sialan ini malah keluar? "Kamu kan
yang mengenalkanku pada Paris? Kamu yang membawaku pada cinta Paris ini"
"Aku tahu, tapi Aku
menyerah, Aku menyerah, maaf aku sudah tidak bisa menemanimu, bersamamu,
mengerti kamu tentang Paris" Apa yang dia bilang? Dia jelas tidak tahu.
Setelah mengatakannya dia beranjak pergi, membuka pintu dan sampai sekarang
tidak kembali untuk membuka pintu itu lagi, tanpa menunggu jawabanku yang
ditinggalkan dalam tangis.
Aku memang sangat terobsesi pada Paris, dia mengenalkanku pada Paris
saat dia membawakanku oleh-oleh dari sana, sebuah mug berwarna putih. Setelah itu aku jadi gila semua hal tentang
Paris. Dia pernah mengajakku berlibur ke Paris, mengingat gajinya yang lebih
berlipat daripada gajiku, tapi kutolak. Paris adalah tujuanku, cita-citaku, aku
ingin meraihnya sendiri.
Aku sudah berulangkali berpikir, apa yang harus kulakukan sekarang?
Saat dia berkata tidak bisa melakukan apapun tanpaku, aku pun bukan apa-apa
tanpanya. Dia sekarang pergi karena cemburu pada Paris, hal yang menurutku
konyol. Aku memang sedikit agak terobsesi pada Paris dengan semua benda di
sekitarku berasal atau berbau Paris, hanya itu. Lalu apa lagi sekarang? Aku
marah padanya, itu sudah pasti. Setelah berpikir satu minggu ini, aku
memutuskan sesuatu, kalau dia cemburu pada Paris, akan kubuktikan bahwa Paris
bukan apa-apa, bahwa dia salah.
Aku akan ke Paris!
***
Aku menghela napas sebelum mengetuk pintu ruangan Bosku
"Masuk" Aku membuka pintu dengan hati-hati, kemudian tersenyum pada
perempuan sebaya tanteku itu. "Ada apa Dil?" tanyanya seperti biasa.
Aku duduk dengan tidak nyaman, mencengkeram amplop putih -surat pengunduran
diriku- gugup.
Aku mencoba mengatur napasku, ini keputusan terbesar dalam hidupku,
bahkan lebih besar dari saat aku memutuskan kuliah desain dan keluar dari
Fakultas Kedokteran, itu bukan jiwaku. "Saya ingin menundurkan diri"
***
Sekarang aku sudah berada di bandara, menanti keberangkatanku,
sendiri. Pengunduran diriku diterima, walaupun agak sulit, tapi akhirnya lolos.
Ayah dan Ibu tahu kalau aku sudah keluar dari perusahaan itu, mereka
menerimanya dengan iklas, mereka menganggapku dewasa. Tania sering
mengunjungiku seminggu ini, dia sangat mengecam keputusanku. Tapi dia tidak
memaksa, ini hidupku, aku yang menentukan.
Sebelum pergi tadi aku ke apartemennya, menitipkan surat pada satpam.
Aku ingin berpamitan, rasanya aku akan menangis lagi.
Kepadamu, Paris yang sangat
aku cintai
Kamu tahu, sejak kapan aku
menyukai Paris? Jawabannya sejak kamu memberikanku mug dari Paris
Sejak itu untuk pertamakali
aku sadar aku menyukaimu
Kamu tahu sejak kapan aku
mencintai Paris? Jawabannya, sejak kamu mulai mencintaiku
Kamu tahu sejak kapan aku
begitu terobsesi pada Paris? Jawabannya sejak kamu menjadi milikku
Jadi apa alasanmu cemburu?
Apa alasanmu menyerah? Apa yang membuatmu menyerah? Apa yang membuatmu berpikir
untuk menyerah?
Aku sangat berterimakasih
pada Paris, karena dia yang mengantarkanmu padaku, melalui mug putih itu.
Aku begitu memuja Paris
karena namanya sama sepertimu, orang yang aku puja
Aku sangat mencintai Paris,
tapi aku lebih mencintaimu Paris. Kamu alasanku menyukai, mencintai, dan
terobsesi pada Paris.
Aku menolakmu untuk ke
Paris, karena aku ingin meraih Paris dengan tanganku sendiri, seperti aku
meraihmu.
Tanpamu, Paris bukan
apa-apa. Paris, akan selamanya dicintai karena Paris (kamu).
Dan akhirnya sekarang aku
sedang meraih Paris, aku pergi.
Dari, Seseorang
yang begitu mencintai Paris, karena Paris.
Aku menangis untuk kesekian kalinya saat mencoba menulis surat itu,
berlembar-lembar kertas kubuang karena air mataku menetes di atasnya, Paris?
Apa ini yang kamu inginkan? Aku mulai
membencimu? Kurasa tidak bisa!!!!
Terdengar panggilan, pesawatku akan segera tinggal landas, aku
menoleh ke belakang. Berharap dia di sana, menjemputku, menyeretku pulang
seperti di sinetron Indonesia. Tapi dia tetap tidak di sana, dengan menelan kekecewaan aku
kemudian berjalan masuk untuk bertemu Paris yang lain. Sepertinya sudah berakhir, aku segera
menghapus air mataku dan berjalan
tergesa- gesa menuju pesawat. Ini yang terakhir, ini
air mata terakhir untukmu Paris. Janjiku.
***
Arghhhhh
Aku ingin pulang!!
Aku sudah tidak tahan di sini!!!
Aku sungguh konyol! Sama konyolnya dengan Paris, dia cemburu pada suatu tempat
sedangkan aku konyol karena pergi ke Paris untuk membuktikan padanya bahwa dia
salah. Satu-satunya hal yang membuatku sesak adalah, aku harus menahan diri
untuk tidak menangis selama di Paris, tapi janjiku itu sangat sulit untuk
dilakukan. Sepertinya Paris juga menyesuaikan susasana hatiku. Salju yang
biasanya sangat jarang turun, kadang muncul pada bulan terdingin Januari atau
Februari, sekarang muncul hampir setiap hari di bulan kedua ini.
Satu pengalaman penting yang aku petik, jangan berlibur dengan cuaca
yang sangat menggigit seperti ini. Aku sudah seminggu berada di Paris dan
kesanku adalah bosan! Entah mengapa, aku sudah pergi ke Avenue des Champs-Elysées, taman abad ke-17 yang diubah menjadi
jalan. Salah satu atraksi turis dan jalan perbelanjaan besar di Paris. la plus belle avenue du monde "jalan
terindah di dunia". Menjelajah Avenue Montaigne sampai Musée du Louvre,
tapi aku tidak menemukan apa yang kucari. Aku malah tidak bisa berhenti
memikirkan Paris yang kutinggal di Indonesia. Pelukan hangatnya atau ucapan selamat paginya.
Arghh! Aku menyesali ini. Aku sekarang sedang duduk di kursi taman apartemen
sepupuku, Veya, sambil merapatkan mantel dan membetulkan syal. Veya kuliah di
sini, tapi sekarang sedang pulang ke Indonesia.
Hatciiii!
Lamunanku buyar saat mendengar orang bersin, aku baru sadar udara
sangat dingin, tubuhku rasanya sudah membeku. Aku bangkit dan untuk pulang, tapi dengan
cepat aku berbalik lagi. Hening yang
menyesakkan menyerangku karena
melihatnya, "Kamu?" Aku akhirnya bisa
mengeluarkan suara. Dia berdiri di sana dengan mantel biru tua dan syal,
memandangku dengan tatapan yang kurindukan. Dia berjalan mendekat dengan
perlahan, seakan takut aku akan lari. Aku sendiri hanya diam di tempat,
menunggunya melakukan sesuatu atau mungkin mengatakan sesuatu. Aku mulai frustrasi
dan kedinginan menunggunya melakukan sesuatu, mungkin dia memang tidak akan melakukan apapun. Aku menyerah,
berbalik, aku hanya ingin mengurung diri di kamar. Cepat-cepat aku berjalan
menghindarinya, tapi aku tersentak karena tarikan dari belakang, begitu sadar
aku sudah berada dalam suatu pelukan ketat seseorang berbahu kokoh dan berdada
bidang. Aku sulit bernapas, selain karena sosok orang yang memelukku,
pelukannya memang sangat erat, seperti ingin meremukkan tubuhku. Kudengar
napasnya yang memburu di telingaku, dadanya berdegup kencang.
“Jangan lari,, jangan lari lagi” Suaranya sangat
lirih, tapi semakin lama terdengar menggema dalam hatiku. “Aku baca surat kamu,
jadi seperti itu? Semua tentang Paris itu karena aku?" aku mengangguk
lemah "Aku nggak bisa jauh dari kamu, rasanya seperti kehilangan satu
paru-paruku, sesak!” Aku sudah ingin menangis, berontak
“Kalau kamu merasa sesak, kenapa melepaskanku?”
“Karena sepertinya aku menghalangimu, aku hanya
ganjalanmu untuk ke Paris. Kamu nggak pernah mau ke Paris sama aku. Aku merasa
Paris hanya untukmu, bukan kita. Tapi aku sadar, apapun yang kamu perlukan, aku
rela jadi apa saja, bahkan walaupun aku hanya akan menjadi bayangan Paris.
Akhirnya aku menyusulmu” Aku sudah tidak kuat membendung air mata, sebegitu
cintanyakah dia padaku sampai berpikir seperti itu? Aku mencoba melepaskan diri
dan akhirnya dia melepas kurungannya.
"Sebenarnya ini arti kamu bagi aku" aku
menarik wajahnya mendekat, memulai dengan kecupan kecil di bibirnya yang beku,
aku membujuknya, merayunya untuk membalas ciumanku.
Aku
begitu mencintaimu, rasakan melalui ciuman ini. Aku ingin merasakanmu, berbagi
rasa, juga cerita, dan emosi. Aku begitu menyayangimu, tidakkah kau
merasakannya melalui kecupan-kecupan lembut pada bibirmu? Aku begitu memujamu,
tidakkah kau menyadari lewat kecupanmu yang kubalas sepenuh hati?
Aku begitu mencintaimu!!!
***
Dan di sinilah kami sekarang, setelah sesi ciuman
panas di taman super beku apartemen Veya. Kami saling menghangatkan, berpelukan
di sofa ruang tamu Veya, dihadapan perapian. Memang orang Indonesia, walaupun
sudah di luar negeri sakitnya tidak jauh-jauh dari flu dan masuk angin. Kami
sudah minum obat, berselimut tebal, dan sudah meminum cokelat panas, tapi tetap
saja rasanya seperti berada di dalam lemari es. Kurasakan kecupannya di dahiku,
aku menoleh sambil tersenyum, Akhirnya pengertiannya datang juga, apa aku
memang harus nekat begini agar dia percaya begitu besar aku mencintainya? Bisa
bangkrut aku!
"Lagi mikir apa?" dia berbisik lembut di
telingaku, aku menjawab dengan mengeratkan pelukanku padanya.
"Kamu,,,"
"Aku? Kenapa dipikirin? Aku ada di sini? Just feel it" dia menggodaku.
Aku langsung mencubit pinggangnya, "Dasar!!
Sekarang aja bisa begini, kemarin? Ketemu aja nggak mau, bisanya membuat orang
menangis aja" Dia langsung ngambek, hahaha,, aku langsung menghadiahinya
kecupan singkat di bibir, tau aku hanya menggodanya balik, dia tersenyum lagi.
"Kamu tau?? Aku punya berita baik"
Senyumnya manis sekali, aku mendongak melihat matanya yang berbinar.
"Apa?"
"Ehmmm,,, tapi sebelumnya aku akan menanyakan
sesuatu. Berita yang akan aku sampaikan nanti tergantung keputusan kamu
sekarang" tiba-tiba dia berubah gugup, aku jadi penasaran. Dia menjauhkan
tubuhnya dariku, aku sudah ingin protes, tapi tindakan selanjutnya membuatku
bungkam. "Mau menjadikanku pendamping hidup kamu, selamanya?" aku
menutup mulut tidak percaya, dia berlutut, turun dari sofa, mengeluarkan kotak cincin dari saku mantelnya.
Apa yang baru dia katakan? Tentu saja "Iyaaa,
mau,, mau" aku dengan terbata-bata menjawab lamarannya. Dia langsung
bangkit, memasangkan cincinnya di jari manisku, dan menyerangku dengan
ciuman-ciumannya.
"Thank
you, honey, thank you" Katanya terus menerus, aku tentu hanya bisa
mengangguk, aku sudah tidak bisa berkata apapun. "Sekarang waktunya berita
utama"
Aku mengernyit bingung, "Bukannya berita
utamanya kamu ngelamar aku?"
Dia menggeleng "Itu pembukanya saja, sekarang
main course nya" dia mengedip
nakal "Take a breath, Aku
dipindahkan dinas ke Paris" aku masih terdiam beberapa detik kemudian
berseru,,
"What??"
"Kenapa? Kukira kamu bakal senang?"
"Tentu saja aku senang, congrats babe, i proud of you. Tapi ..."
"Kenapa?"
"Bagaimana dengan kita? Aku.. Aku akan sangat
merindukanmu" aku mencoba menahan isakanku, aku baru saja mendapatkannya
kembali.
"Apa maksudmu? Heii,, heii,, dengerin aku
dulu. Jangan nangis" dia mengusap air mata di pipiku "I said that, It depends on your decision.
Tergantung keputusan kamu, kamu bilang mau nikah sama aku,, so I'll take it" aku menatapnya
tidak percaya, "Kita akan tinggal di sini setelah menikah, lebih mudah
lagi karena kamu udah nggak kerja. Aku menerima Paris, karena memang ini kota
yang kamu suka. Seminggu aku nggak ketemu kamu ya buat ini, aku menebak-nebak,
apa kamu masih nolak aku kalau aku ajak nikah dan kita hidup di sini?"
Aku masih menggeleng-gelengkan kepala, "Kalau
aku nolak?"
"Aku nggak akan ngambil kerjaan ini, aku akan
tetap di cabang Jakarta sambil nguntit kamu kemana aja sampai kamu mau maafin
aku dan balik sama aku lagi" aku tersenyum padanya, I love him so much "I
love you, my whole life, Karena itu aku mau ngambil kerjaan ini cuma karena
kamu, hidup tanpa kamu itu buruk, dan bodohnya aku baru sadar satu jam setelah
pergi dari rumah kamu minggu lalu"
"Oh honey"
aku membelai pipinya dan menciumnya lembut.
"Please,
kamu mau hidup di Paris sama aku?" wajahnya kelihatan sangat mengharap
Aku dengan kecewa, menggeleng, wajahnya terlihat
kecewa, dia menoleh ke arah lain, aku menariknya menatapku lagi, lalu kukatakan
dengan jelas sambil menatap matanya
"Aku mau hidup sama Paris Wisnu Adilaga, dimanapun" dia
kembali tersenyum dan merengkuhku.
Hidup
baruku akan dimulai di sini, Paris!
Kata,
tempat, gambaran yang membuatku dan Paris bersatu, berpisah, dan akhirnya
menyatu selamanya.
Hidupku
selanjutnya akan dilalui di Paris!!
Bekerja,
menjadi istri Paris, dan ibu anak-anak kami
Aminn!
Aku akan
bahagia, tetap bahagia, dimanapun kami berada, asal Paris selalu bersamaku,
memelukku dan tidak akan melepasku lagi.
No comments:
Post a Comment