ALICIA’s MIND
"Bye Guys" Gue
melambai dengan kekuatan yang sedikit berlebihan pada mobil BMW merah
mengkilat. Bukannya gue suka sama mereka, absolutely
not, tapi karena gue ingin mereka cepat menyingkir dan membiarkan gue
melepaskan benda-menda menyiksa di tubuh gue ini.
"Argghhh" Gue masuk gerbang rumah gue yang sudah dibuka
oleh Pak Gilang satpam rumah gue, ralat, rumah Papa gue. Begitu sampai di dalam
halaman rumah, gue langsung melepas heels
yang tingginya sekitar 10 cm kemudian berjalan lagi ke dalam rumah, tanpa alas
kaki. Kalo kalian tanya apa ini menyiksa? Gue dengan senang hati akan menjawab,
SANGAT!
Pertanyaan
selanjutnya yang biasa ditanyakan oleh Adik kecil rese gue dan Papa adalah,
kenapa Gue masih aja pake heels kalo
memang menyiksa? Kali ini gue bakal jawab dengan pandangan menusuk dan bilang, Hey I am a girl. I wanna everybody look at
me as a beautiful girl. And beauty is pain. Mereka gila kalau Gue harus
pergi tanpa heels.
Gue mencoba membuka pintu dan langsung mendesah lega, tidak dikunci.
Gue melirik jam tangan di lengan kiri gue, 11:30, masih jam aman. Ini malam
minggu berarti jam malam gue naik jadi jam 1. Gue langsung masuk dan naik ke
kamar gue, menyeberangi ruang tamu yang bisa dibuat main basket sambil
menenteng heels. Naik ke lantai dua
dan langsung masuk kamar gue yang gue banget. Ranjang king size dengan bedcover
warna merah maroon dan bantal-bantal
hitam. Gue berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil pants dan tanktop, menanggalkan tight
dress gue yang bikin orang gendut sesak napas. Gue keluar kamar mandi
dengan wajah lebih segar langsung menyingkap bedcover dan tewas di bawahnya.
Gue nggak tahu jam berapa ini, tapi gue merasa tidak nyaman. Badan
gue terasa berat dan gue nggak suka. Gue menggeliat, tapi tetap saja rasanya tetap
sama. Dengan perasaan frustrasi gue terbangun, gue mulai menerjemahkan apa yang
terjadi. Ada tangan yang memeluk gue dari belakang dan gue merasa sebagian
tubuhnya menekan gue. Ceska? Adik gue? Tapi kenapa tangannya sebesar ini? Ceska itu baru
8 tahun. Gue menoleh untuk tahu siapa yang ada di belakangku.
"Aarrrgghhhhhhhhh, What the hell are you doing here?"
###
Gue nggak habis pikir sama semua ini, seharusnya tuh cowok
ditendang, diinjek-injek, dicincang, terus dibuang ke laut. Tapi apa yang papa
tercinta gue ini lakukan? Papa tercinta gue malah menyambutnya dengan sarapan
dan senyuman hangatnya itu? Papa pasti gila. Tapi Papa bilang dia itu anak teman lama Papa dan dulu aku pernah bertemu
dengan si cowok tengil ini. Aku tidak ingat dan tidak mau ingat orang yang
sudah masuk kamarku sembarangan.
"Kakak? What are you
doing?" Ceska membuat gue tersentak dari usaha membolongi kepala cowok
di depan gue ini dengan tatapan mata
super tajam. Papa dan si cowok tengil yang baru saja
gue tau namanya Malvin -gue lebih suka
manggil dia Muffin- langsung menghentikan aktivitas
makan mereka dan menapat gue. Gue cuma bisa menghela napas dan mencoba
tersenyum.
Ceska tadi bertanya apa yang gue lakukan karena mereka semua makan
sementara gue cuma bengong "Ceska, Gue lagi diet. Gue nggak bisa makan
ini" Gue menunjuk nasi goreng berminyak yang dimakan para lelaki ini.
"Mbook, mana pir-nya?" Tidak lama kemudian mbok Nami datang membawa
sepiring kecil pir yang sudah dicuci, dipotong, dan tanpa dikupas. Semua orang
tahu kalo pir itu mengandung antioksidan dan vitamin C jadi gue juga makan pir
setiap pagi, tanpa nasi.
Sekarang gue masih di kamar, membereskan baju-baju belanjaan gue
kemarin yang di dominasi mini dress dan heels. Sorry, gue memang gila belanja. Buat apa Papa gue kerja keras
banting tulang membentuk Law firm
kalo nggak gue manfaatkan? Mungkin agak kurang ajar ya, tapi Papa yang walaupun
perhatian itu sering tidak ada di rumah dan gue perlu kegiatan untuk
menghabiskan waktu luang gue selain kuliah. Dan, gue paling benci bicara soal
ini, gue perlu keluar rumah sesering mungkin biar kangen gue sama Mama yang
bikin gue merasa tercekik kalo ada di rumah ini pergi. Yah, Mama gue meninggal
setahun yang lalu karena sakit. Klasik banget, tapi nggak seklasik itu sampai
gue mengalaminya sendiri. Mama gue, partner
belanja gue, sahabat gue, tempat curhat gue hilang setelah Mama kecelakaan dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Gue
nggak tahu pasti kenapa Mama bisa kecelakaan, kata orang-orang mobil Mama
mencoba menghindari orang yang menyeberang sembarangan. Gue nggak tahu siapa
dia dan bagaimana keadaannya, tapi gue nggak bakal ngapa-ngapain dia. Gue
memang kehilangan Mama, tapi gue bakal iklas karena semua itu diatur sama
Tuhan. Semoga orang itu baik-baik saja.
Klek
Gue menoleh malas ke arah pintu yang seperti gue
duga Papa ada di sana. Kami bakal bicara serius kali ini.
“Papa harus usir dia, titik!” Kataku sambil
menaruh baju-baju baruku ke kerangjang cucian, mereka perlu dicuci.
“Nggak bisa sayang, Papa kan sudah setuju sama Om
Angga kalo Malvin bakal tinggal di sini selama dia liburan, Papa nggak enak
dong kalo memulangkan dia sembarangan” Papa mencoba menjelaskan sambil duduk di
sofa merah menyalaku di pojok. Om Angga itu Papanya Malvin dan lagi-lagi kata
Papa, aku sudah bertemu dengannya saat aku berumur 4 tahun dan Malvin 6 tahun
sebelum mereka sekeluarga pindah ke Batam.
“Please
Pa” Gue melipat tangan lalu menghadap Papa sambil berdiri. “Papa masih mau
nampung dia ? Dia udah masuk kamar aku Pa, Tidur di ranjang aku ini dan meluk
aku! Papa nggak takut apa kalo aku diapa-apain?” Gue menggebu-gebu, Hey ada
cowok tidur sambil meluk anaknya yang masih gadis dan seksi ini, tapi Papa
lempeng-lempeng aja?
“Nggak segitunya Cii” Papa menggunakan nama
kecilku, Cia, Alicia. Papa memutar bola matanya, menandakan aku sedikit
berlebihan. “Dia cuma salah kamar, That’s
it. Dia nggak ngapa-ngapain kamu. Apa sih yang kamu harapkan dari orang
yang kecapekan malam-malam buta?”
“Papa! Papa kenapa sih? Teman cowokku aja yang cuma
main di rumah sampe jam 10 malam Papa marahi, tapi ini?” Aku menggeleng-geleng
tidak habis pikir.
“Itu beda, Papa nggak kenal mereka, tapi Papa
kenal Malvin. Dulu Papa suka gendong dia waktu dia masih kecil.” Papa masih
juga mencoba meyakinkanku
“Paaaa, itu kan dia waktu kecil. Papa kan nggak
tahu kalo dia itu sebenarnya PK” Kata-kata gue sengaja dibuat berlebihan. Gue
cuma ingin cowok itu enyah.
“Hahahaha... kamu ini terlalu banyak menonton
film. Nggak ada PK seganteng dia sayang. Sudah, ini penawaran Papa yang
terakhir. Kamu milih mau nganterin dan nemenin dia, atau kamu nggak boleh jalan
kemana-mana, cuma boleh kuliah. No
facilities, berarti no mobil, no kartu. Pilih mana?” Gue cuma bisa bengong,
siapa sih tuh cowok? Papa yang gue tahu sayang banget sama gue berubah. “Just think it first honey” Papa lalu
menutup pintu. Gue langsung jatuh terduduk di lantai dan meneggelamkan wajah
dengan tangan. It’s totally nightmare
###
Masih hari minggu sore, tapi gue belum mau keluar
kamar dari waktu Papa keluar tadi. Gue masih syok dan tidak percaya, Papa gue
itu tadi berkata hal-hal yang tidak masuk akal. Tiba-tiba Gue tersadar, Oke
kalo Papa maunya begitu. Gue bakal ajarin tuh cowok gimana caranya gaul di Jakarta.
Gue langsung pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap. Lo bakal nggak betah
sayang.
Gue keluar kamar dengan wajah fresh dan wangi tentu saja. Rok lipit bahan jeans, tanktop biru
gelap yang dibalut bolero biru juga. Tentu saja tidak terlewat, hidup dan mati
gue, pump shoes setinggi 10cm
berwarna putih.
Gue harus tunjukin siapa yang berkuasa di
sini.
MALVIN’s MIND
Gue sedang membaca novel terjemahan favorit gue
ketika mendengar suara sepatu di lantai marmer ruang keluarga rumah besar ini. Gue
mendongak dan melihat dia, the most
beautiful girl in universe dan seksi dengan rok pendeknya itu. Kakinya yang
jenjang terlihat semakin menggoda. Gue mencoba mengalihkan pandangan gue dari
dia. Dosa!
“Hei” Sapanya halus. Dia sepertinya mencoba
menggoda gue, gue cuma tersenyum-senyum dan mencoba ikut permainannya.
“Hei” Gue pura-pura cuek dan mulai pura-pura
membaca. Gue mencoba menahan senyum ketika dia mendengus. Dia sangat marah
ketika gue masuk ke kamarnya-yang sebenarnya sengaja- tapi sekarang dia mencoba
sabar dan bersikap manis.
“Jalan yuk” Gue melihat wajahnya yang keruh mencoba
dibuat ceria, menggemaskan.
“Mau ke mana?”
“Jalan-jalan keliling Jakarta abis itu kita ke
klub. Gue ada janji sama temen gue” Gue langsung nggak suka sama acara ini. Gue
terima kalo dia jalan sama gue keliling Jakarta pakai baju itu, tapi ke klub
pakai baju itu? Gue nggak bisa bayangin gimana tampang cowok-cowok itu. Gue
ingin sekali mengunci dia dikamar dan tidak menunjukannya pada siapapun, cuma buat
gue. Gue mau menyuruh dia mengganti baju, tapi sepertinya nanti dia akan marah.
“Oke, bentar deh. Gue ganti baju dulu” Gue bangkit
dan mengganti baju gue yang cocok juga buat clubbing.
Daaaaannn, sekarang di sinilah gue menenteng tas
belanja yang gue bisa hitung ada beberapa lusin baju di dalamnya. Jadi ini yang
dia maksud 'keliling' Jakarta, berkeliling dari satu mall ke mall lain. Gue
cuma bisa geleng-geleng dan menghela napas, sumpah!!! Gue sudah mendengar dari
Om Ervan kalau cewek ini gila belanja, tapi gue nggak tahu kalau dia segila
ini. Sepertinya semua mall di Jakarta kami jelajahi dan hampir di semua tempat
itu ada barang yang dibelinya.
“Mbak, Aku mau warna pastel dong. Ada nggak?” Gue melihatnya
sedang mencoba dress yang menurut gue
cantik banget.
“Sebentar ya mbak” Cia hanya mengangguk, Gue
berjalan mendekatinya.
“Lo mau beli berapa karung lagi?” Tanya gue kesal.
Iya gue tahu dia mencoba mengusir gue, tapi gue juga perlu marah.
“Karung? Lo pikir....” Kata-katanya terhenti, HP
nya berdering. Tanpa memperdulikan gue dia mengangkatnya. Mukanya berubah keruh
dan dia menggigit-gigit bibirnya. Marah aja dia masih cantik.
“Yaaahh, lo kok gitu sih Vin. Lo kan janji bakal
bantuin gue!!!!” Dia melirik Gue, sepertinya rencana yang lain untuk
menyingkirkan gue. Sorry sayang gue bakal ngecewain lo.
Dia berjalan ke arah gue sambil cemberut.
“Gue nggak jadi beli baju itu, ayo makan” Tanpa
melihat pegawai yang sedang membawakan baju yang diinginkannya. Gue hanya
tersenyum minta maaf pada pegawai tadi dan tersenyum senang melihat tangan Gue
yang dia gandeng.
“Kita mau kemana?” Tanya Gue lembut, menghadapi
cinta Gue ini. Hahahaha. Ya seperti yang sudah dibicarakan Om Ervan. Papa gue
sama Papanya Cia itu teman lama dan gue ingat pernah ketemu dan main bareng
sama Cia waktu kecil, tapi dia nggak mengingat gue. Yah mungkin karena dia
masih kecil waktu itu. Dan niat gue jauh-jauh datang dari Batam ya buat dapetin
dia.
“Gue mau makan bubur, laper banget gue” Hahaha,
mana ada orang malam-malam mau makan bubur kalau tidak sakit? Dia sedikit aneh
dalam hal makanan. Sekarang-Gue ngeliat jam tangan gue, cukup susah karena
tas-tas belanjaannya dia, 08:30. Gila uda 3 jam gue menemani dia belanja dan
menghambur-hamburkan uang Om Ervan. Kalo dia jadi pacar gue dia bakal gue
jadiin tobat buat belanja. Just wait and
see babe.
Gue melihat langkahnya yang sedikit melambat, Gue
melihat kakinya, sepertinya lecet. Pastilah, 3 jam berjalan naik turun dan
dengan percaya dirinya dia menggunakan heels?
I love you, just the way you are, Hon!!
Lo nggak perlu sakit buat bersama gue, Janji gue dalam hati.
Kami sudah duduk dan sudah selesai memesan. Dia
dengan bubur dan air putih sementara gue dengan sate ayam. Gue lapar!
“Gue capeekkk”
“Gue juga, dan sepertinya gue lebih capek” Ucapku
sambil melirik barang belanjaannya
“Hehehehe,, sorry
ya” Cia, seandainya dia tahu gue udah cinta sama dia, lagi. Semenjak kelas 1
SMA. Setelah Om Ervan bertamu ke rumah dan menunjukkan foto seorang gadis manis
ini, Gue nggak bisa lepas dari foto itu sampai sekarang. Gue coba melupakan Cia
karena gue menganggap ini semua bodoh dengan mencintai orang yang sama sekali
belum gue temui selama bertahun-tahun, tapi nggak bisa.
“Abis gue suka kalap sih kalo ngeliat yang
bening-bening begitu” Dia mengembangkan senyum bersalahnya. Arghhhh gue bisa
gila kalo begini terus. Dia terlalu nyata dan gue nggak siap.
Selanjutnya
kami mengobrol banyak, sepertinya dia mulai menikmati kebersamaan kami. Gue
suka cara makannya, cewek banget, makannya sedikit-sedikit. Akhirnya setengah
jam kemudian dia baru selesai makan.
“Gue ke toilet dulu ya”
“Gue juga mau ke toilet”
Setelah gue bayar, gue ikut dia ke toilet.
“Kenapa lo ikut gue?” Dia
berbalik menatapku tajam.
“Hei, gue mau buang air
kecil. Gue pergi ke sebelah” Tunjuk gue ke lambang cowok di toilet sebelah.
Setelah selesai gue keluar membawa tas belanjaan, tiba-tiba..
“Aaaaaaaaaaa” Suara
teriakan Cia menyentakkan gue. Gue lari dan melihat Cia sedang mengejar seorang
laki-lagi. Refleks gue mengejar laki-laki itu dan menangkapnya, lumayan susah
dengan tas-tas ditanganku ini. Cowok itu berusaha lepas tapi tidak bisa. Cia datang
dari belakangku.
“Mana HP lo!” Todongnya.
Gue bingung, sejak kapan nih cewek tukang nodong? Dia lalu memukuli tuh cowok.
Laki-laki itu mengeluarkan Hpnya, Cia dengan cepat merebut HP itu dan
langsung mengutak-atiknya.
“Waahhh, lo emang PK ya?
Sering banget ya lo nongkrongin toilet cewek?” Hah? Apa maksudnya? Gue langsung
menatap cowok itu tajam.
“Dia ngapain sih?” Gue
penasaran juga
“Dia fotoin gue lagi di
toilet, untung gue bisa hapus” Mendengar itu amarah gue langsung naik dan
dengan kalap gue menghajar cowok ini.
“Stoop!!!” Gue dipeluk
dari belakang sama Cia. “Udah, jangan diapa-apain, gue nggak apa-apa” gue
akhirnya berhenti.
“Heh banci!! Kalo lo
keliatan lagi gue bunuh lo” Gue langsung berbalik melihat keadaan Cia. “Lo
nggak apa-apa?” Tanya gue khawatir, untung cowok itu berlari ke lorong sepi di mall ini. Gue menengok Cia, Dia
terlihat pucat dan gemetar, sepertinya keberaniannya hanya sebatas itu saja.
Gue langsung meluk dia.
Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau dia kenapa-kenapa
Mungkin gue nggak bisa hidup.
ALICIA’s MIND
Gue nggak tahu kenapa gue
membiarkan dia memeluk gue, tapi gue takut sekali. Rencana gue kan hari ini gue
bakal ngasih pelajaran dia, tapi kenapa sekarang gue deg-degan begini? Oke gue
akui dia cakep, banget. Tinggi, dengan wajah ganteng, bibir tipis kemerahan,
sumpah gue pengen nyium. Gue bukan anak kecil lagi, gue sudah semester 5 di
jurusan hubungan internasional dan sudah pernah pacaran. Gue yakin dia juga
pernah, cowok seganteng dia pasti punya pacar sekarang. Gue harus fokus, gue
akan menderita kalo nggak menyingkirkan nih cowok. Inget Cia, dia udah tidur
bareng lo, cowok gue aja belum pernah dan nggak bakal lo izinin. Gue tahu gue
dangkal, tapi sekarang gue cuma pengen nyium dia. Gue mendongak takut-takut,
dimana-mana tuh cowok yang memulai duluan. Ahh Bodooo deh. Gue nggak perlu
berjinjit karena gue pakai heels, Dia
yang sadar gue perhatikan langsung merenggangkan pelukannya dan menatap Gue.
Gue terpaku melihat bola mata coklatnya, gue merasa gemetar dan tanpa pikir
panjang langsung menyatukan bibirku dengan bibirnya. Gue nggak tahu bagaimana
itu bisa terjadi, tapi itu ciuman tersweet
yang pernah gue alami. Gue harus meluk dia karena kaki gue ranyanya lemas
banget, gue nggak bisa berhenti. Tiba-tiba dia menjauhkan kami. Shit, Gue lupa kalo dia juga bisa nolak.
Malu banget gue.
"Ehhmmm," Gue salah tingkah" Sorry banget, gue, gue nggak sengaja" apa gue gila, nyium anak
orang nggak sengaja? Dia hanya tersenyum-senyum dan akhirnya berbisik
"Nice babe, tapi lain kali
gue aja yang nyium lo"
Shit!!
MALVIN's MIND
Hahahaha.. Seharusnya gue bawa kamera biar dia bisa lihat bagaimana
wajahnya sekarang. Baru kali ini gue dicium cewek, biasanya selalu gue yang
nyium duluan. Yahhh, kalau ceweknya secakep dia gue nggak nolak. Dalam misi
mengenyahkan Cia dari otak, gue mencoba berpacaran, tapi nggak bisa. Cuma ada
Cia.
Gue melepaskan ciumannya dan berkata "Nice babe, tapi lain kali gue aja yang nyium lo" Hahahaha,
mukanya sudah mirip sekali dengan kepiting rebus.
Gue menggandeng dia dan mengajaknya pulang.
"Sorry" Ucapnya pelan
dari belakang gue.
"Nggak apa-apa, tapi gue nggak nyangka lo segitu agresifnya" Gue
menahan tawa sambil menoleh, hahahahaha. Mukanya semakin merah.
Mungkin sekarang dia sudah mengumpat dalam hati, tapi tidak apa-apa, Gue
terlalu bahagia.
Tapi setelah ini mungkin lebih membahagiakan.
ALICIA's MIND
Haaahh, gue nggak bisa bayangin muka gue tadi. Sumpah pasti konyol sekali. Untung gue cepett balik dari sana. Daannn sekarang gue ada di depan Skittles, tempat clubbing gue malam ini. Welcome to the jungle babe, Gue nggak yakin dia tahu tentang club di jakarta. Gue harap Dia akan merasa asing dan mengajak gue pulang. Tapi sorry, lo harus ikutin aturan gue.
Haaahh, gue nggak bisa bayangin muka gue tadi. Sumpah pasti konyol sekali. Untung gue cepett balik dari sana. Daannn sekarang gue ada di depan Skittles, tempat clubbing gue malam ini. Welcome to the jungle babe, Gue nggak yakin dia tahu tentang club di jakarta. Gue harap Dia akan merasa asing dan mengajak gue pulang. Tapi sorry, lo harus ikutin aturan gue.
"Hei babe, lo dari mana aja
baru datang?" Tanya Tony begitu kami masuk club. Dia mengecup pipi gue. Gue bisa melihat kalau rahang Malvin
mengeras, pasti dia jealous.
Sebenarnya ini cuma harapan gue, tapi setelah ciuman tadi gue yakin ada sesuatu
antara dia dan gue.
"Heii, Shopping dulu
lah" Gue membalas ciumannya di pipi.
Gue yakin sekali kalau dia jealous,
gue tahu kalo dia suka gue cium. Tapi ternyata gue salah, dia malah pergi ke
bar, Sialan! Seumur-umur gue nggak pernah minum alkohol, haram! Dengan kesalnya
gue jalan menggandeng Tony ke lantai dansa.
"Turun Yuk!!" gue teriak untuk mengalahkan suara musik menghentak
ini. Tony yang bisa mendengar langsung tersenyum-senyum dan mengiyakan. Gue
asyik nge-dance sama Tony. Gue perlu
sesuatu yang bisa menghilangkan stress gue. Stress tadi pagi kebangun sama
cowok itu, stress ancaman Papa, stress karena gue bisa ciuman sama cowok yang
baru gue kenal kurang dari 24 jam, dan yang terakhir sekarang gue lihat dia
lagi ngobrol sama cewek, gue cemburu. Gue pasti gila.
Lagi asyiknya nge-dance, tiba-tiba sepatu gue selip dan gue jatuh.
"Awwww" Shit tentu saja suara gue nggak
terdengar dan orang-orang tidak memperhatikan. Tapi sumpah gue malu abis, gue
mencoba berdiri dan awwww, gue nggak bisa berdiri. Gue melihat ke sepatu gue
dan langsung mengerang. Hak sepatu gue patah. Bencana apalagi ini, niatnya mau
ngasih pelajaran terus pamer sama tuh cowok, tapi malah jadinya begini.
"Lo nggak
apa-apa?" Tony sudah ingin menolong gue, tapi tiba-tiba ada tangan yang
mengangkat tubuh dan menggendong gue. Malvin!!!
"Apa yang lo lakukan??" Desis gue, malu gila, gue pingin banget
ngumpetin muka, tapi dimana? Arghhh...
"Udah diem! Kaki lo sakit kan??" Tanpa mempedulikan tatapan aneh
dari pengunjung lain termasuk Tony; Malvin menggendong gue sampai ke ruang
privat kemudian mendudukan gue. Dia menunduk kemudian memeriksa kaki gue dan
melepas heels kesayangan gue, rasanya nyaman. Seseorang masuk, sepertinya
pelayan, dia membawa baki yang dilihat dari dekat ternyata isinya air es.
"Ini mas" Katanya sambil meletakkan baki itu di dekat kaki gue.
"Thanks" Ucapnya
sambill menyelipkan 100ribuan ketangannya. Malvin beralih lagi ke gue yang
masih meringis. "Masukin kaki lo ke sini" Gue masukin kaki gue, tapi
dengan cepat mengangkatnya. Airnya terciprat ke kemeja hitam Malvin. Gue
menatap takut-takut, mungkin dia marah.
"Sorry, dingin" Malvin
menarik kaki gue dan memasukkannya perlahan ke air es itu.
"Ck, Lo itu kenapa jadi kalap begini sih? Kan nge dance nya bisa santai aja, Gue urut ya?" Tanpa menunggu
jawaban gue dia menekan dan memijit kaki gue. Gue sudah ingin menendangnya
karena sakit, tapi tangannya lebih kuat. "Kaki lo diem aja!"
Gue berdecak kesal "Sakit tau!"
"Ya berarti kaki lo memang bermasalah" Dia memijat kaki gue, gue Cuma
bisa meringis-ringis kesakitan. “Udah” Setelah berkata itu dia pergi ninggalin
gue keluar dari ruangan privat ini. Hah? Segitu doang? Dasar cowok nggak peka!!
Gue langsung membereskan sepatu gue dan mencoba berdiri, rasanya nyaman.
Ternyata Malvin bakat jadi tukang urut, tapi gue langsung cemberut lagi. Dia malah
nggak bertanggung jawab, dengan kesal gue membuka pintu, tapi sudah didului
oleh Malvin. Hampir saja gue kena daun pintu.
“Mau kemana lo?” Tanyanya sambil membawa
paperbag
“Keluar lah” Jawab gue asal
“Lo mau keluar nggak pake sepatu?” Tanyanya lagi, gue langsung memutar mata
“Gue nggak ada sepatu flat, dan
gue utuh itu sekarang. Kaki gue emang udah sembuh, tapi nggak bisa pake heels dulu” Dan lo tadi malah ninggalin
gue, tambah gue dalam hati
“Makanya jangan pakai sepatu begituan, itu nggak sehat. Duduk lagi sana!”
Perintahnya, lalu berjalan menuju sofa, gue mengikutinya duduk di sampingnya.
Tiba-tiba dia berjongkok dan mengeluarkan sesuatu dari paperbag. Flat shoes? Cantik
bangeet! Warnanya biru tua, seperti baju gue sekarang, dengan hiasan mawar
besar di depannya. Dia menarik kaki gue dan memasangkannya. Gila, gue baru
pertamakali diginiin sama cowok. Dia
sweet banget sih? Kaki gue kotor gitu abis jalan ke pintu lagi.
“Nah” Dia tersenyum puas “Pulang yuk, gue nggak mau dimarahin Om Ervan,
besok lo kuliah nggak?” Dia mendongak
dan gue nggak menyia-nyiakannya, dia terlalu sweet buat dianggurin. Gue meraih wajahnya dan langsung nyium dia,
gue nggak tahu ada apa di otak gue sampai nyium cowok yang baru gue kenal dua
kali, diulangi, dua kali!!! Dia langsung melepaskan ciuman gue dan berkata “Just like what i said, Gue yang bakal
nyium lo” Dan kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dimulai dari dia
menarik wajah gue dan selanjutnya dipikir sendiri.
MALVIN’s MIND
Hahahaha, gue nggak tahu mimpi apa gue tadi malam hari ini gue dapet dua
ciuman dari Cia. Gue kaget banget melihat dia sebegitu agresifnya, Iya gue tahu
kalo gue cakep tapi perasaan gue harus nge date
sekali baru dapet cium.
“Pulang yuk” Ajak gue sekali lagi setelah satu sesi ciuman yang nggak
terlupakan tadi. Muka Cia masih merah dan dia masih mencoba mengatur napas. Dia
Cuma mengangguk. Gue gandeng dia keluar.
Dalam perjalanan pulang dia tidak
bersuara, tapi dia terus saja melirik jam tangannya.
“Kenapa?” Tanya gue murni khawatir.
“Sekarang mau jam 12” Katanya sedih, gue mengerutkan kening
“Oh, lo takut dimarahi Om Ervan? Santai aja, sebenarnya buat hari ini jam
malam lo gue yang ngatur” Tapi dia masih murung. “Kenapa?” Tanya gue lagi
“Besok itu hari meninggalnya Mama” Gue langsung paham, gue meremas
tangannya mencoba memberi dukungan. Gue tahu rasa kehilangannya dia, karena Om
Ervan sudah cerita semuanya ke gue.
“Besok gue temenin ke makam ya?” Tawar gue, dia mengangguk lemah dan
tersenyum
“Tapi sekarang gue mau ceritain sesuatu ke lo”
ALICIA’s MIND
“Viiiin” Gue mengetuk kamar Malvin yang berada di samping kamar gue, tapi
tidak ada jawaban.
“Viiiiin” Gue ketuk lagi, kali ini ada suara. Ini cowok kebo banget ya
tidurnya? Kemarin juga pas dia ‘nggak sengaja’ tidur di kamar gue. Kenapa pakai
tanda kutip? Karena Malvin tadi malam sudah bercerita semuanya. Tentang dia
yang sudah jatuh cinta sama gue dari kelas 1 SMA sampai dia akhirnya bisa
ketemu gue lagi kemarin. Gue berpikir dia itu maniak saat pertamakali gue
dengar ceritanya, tapi lalu gue sadar. Dia cinta banget sama gue dan gue juga
mulai cinta sama dia. Gila ya? Satu hari aja dia bisa bikin gue cinta sama dia,
apalagi nanti?
“Apaaaa” Jawabnya malas saat membuka pintu, wajahnya rusuh sekali, tapi
tetap tampan.
“Katanya mau nemenin, Ayoooo!! Mandi dulu tapii” Gue mendorong dia ke kamar
mandi tanpa persetujuannya. Dia berpegangan pada pintu kamar mandi dan menatap
gue.
“Apaaa?” Tanya gue malas
“Cium dulu” Hah? Dasar!! Pagi-pagi juga, gue tau kemarin gue sudah kurang
waras, tapi please deh! Sekarang? Dia
aja belum sikat gigi.
“Nggaaak”
“Diiikkiiit aja, kemarin aja lo main nyosor aja, now is my turn babe” Ucapnya memohon, gue hanya bisa tertawa
“Nggaaaaak!!! Dasar genit” Akhirnya dia mendesah kecewa dan langsung masuk
ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba dia berbalik dan mencium pipi gue.
Arghhhh
Sekarang gue, Malvin, Ceska, dan Papa sudah berada di depan makam mama, Gue
langsung duduk di samping makam Mama menaburkan bunga. Mama, Cia sama Ceska kangen
Mama, Papa juga kangen. Kami berdoa bersama untuk mama, wajah kami tampak
murung, bahkan Malvin. Mama, Cia nggak tahu kenapa dan bagaimana, tapi Cia
kayaknya lagi jatuh cinta, curhat gue dalam hati.
“Pulang Yuk” Kata-kata Papa membuyarkan lamunan gue. Gue bangkit menyusul
papa dan Ceska, tapi tangan Malvin menahan gue.
“Tante, saya calon suaminya Cia. Saya janji bakal jagain dia. Mungkin
sebentar lagi mau ngelamar nih boleh ya?” Hah? Gue langsung menengok dan
memberi tatapan LO-GILA-YA? Padanya. Belum
sempat gue bicara dia sudah bicara lagi “Oh boleh? Makasih tante”
Dia lalu menatap gue, “Tuh, gue udah boleh ngelamar lo, lo siap-siap aja”
Dia benar-benar gila!!
ALVIN’s MIND
Gue nggak tahu kalo dia bisa secakep ini tanpa make up berlebihan dan flat
shoes yang kemarin gue kasih. Yah memang kostumnya pas sih kalo mau pergi
ke panti asuhan begini, Yap, gue sama Cia dan Ceska lagi di panti asuhan. Heran
kan? Kenapa seorang Cia yang gila belanja semua barang-barang branded malah pergi ke panti asuhan? Gue
juga!! Dan sekarang calon istri gue ini –Dia memang calon istri gue sejak tadi
pagi- sedang memberikan bingkisan pada adik-adik kecil di sini setelah
pengajian.
“Ces? Kak Cia kok tumben mau panas-panasan begitu?” Tanya gue ke ceska yang
lagi makan puding di samping gue.
“Katanya, Kakak mau berbagi sama orang nggak punya.”
“Iya, tapi kenapa?”
“Kata kakak, Mama kita udah dipanggil sama Tuhan, tapi kita lebih beruntung
karena masih punya Papa” Gue bengong sendiri, Ternyata Cia dewasa dan memiliki
pandangan luas juga. Gue kirain dia Cuma tahu gimana cara menghamburkan uang Om
Ervan aja. Gue bangkit,
“Ces ikut nggak?” Tanya gue menunjuk Cia yang berulang kali menyeka peluh. Ceska
hanya menggeleng sambil kembali menyantap pudingnya.
“Sayaang” Begitu ada di dekatnya, dia langsung mendelik. Dia sudah selesai
membagikan bingkisan. Om Ervan-Maksud gue Papa mertua- datang mendekat
“Vin? Gimana? Seneng bisa ke panti?” Tanya Papa sambil mengamati anak-anak
kecil berlarian
“Seneng dong Om, nanti kan rumah Malvin juga banyak anaknya” Gue menengok
ke Cia “Iya nggak sayang?” Cia langsung tergagap. Gue sama Papa Cuma bisa
tersenyum geli
ALICIA’s MIND
“Gimana nih? Kapan besan main ke rumah?” Mereka ngomong apa sih? Gue nggak
ngerti
“Terserah papa mau kapan, tapi buat Malvin lebih cepat lebih baik” Mereka
ngomong semakin nggak jelas “Tapi kalo Malvin maunya sekarang Pa. Papa..” Sejak
kapan Malvin manggil papa gue papa? “Boleh nggak Cia nya jadi istri Malvin?”
Gue langsung syok, apa-apaan lagi ini? Suara Malvin terdengar serius, gue
langsung deg degan menunggu jawaban Papa, mana Malvin udah manggil Papa lagi..
“Sebenarnya Papa berharap kamu datang beberapa tahun lagi, tunggu sampai
Cia selesai kuliah. Tapi melihat kamu sekarang Papa yakin kamu bisa
membahagiakan Cia” Papa lalu menepuk pundak Malvin dan memeluknya “Selamat
Datang Malvin” Malvin membalasnya, kemudian Papa menghadap gue dan mengelus
rambut gue, gue masih speechless. “Congrats babe” Papa pergi.
“Hahahaha, ini pasti bercanda” tapi saat Malvin tiba-tiba mengeluarkan
kotak cincin dari sakunya gue langsung tersadar.
“Mau jadi Ibu calon anak-anak gue?” Tanyanya, gue langsung menariknya ke
tempat sepi, berjinjit, memeluknya, lalu menciumnya sekali lagi. Dia tahu
makasud gue langsung memeluk gue kuat. Membalas ciuman gue.
Gue nggak tahu apa yang pantes didapetin cewek yang agak baik-baik macam
gue, tapi gue nggak berpikir ini. Menikah? Sama Malvin? Bermimpi aja gue nggak
berani. Tapi tiba-tiba Malvin datang dan menawarkan, bukan hanya cinta tapi
kepastian. Gue Cuma bisa menerimanya dengan senang hati.
Gue nggak peduli kelihatannya cinta ini singkat, tapi yang gue tahu,
GUE CINTA MALVIN!!
And this is my awful love
No comments:
Post a Comment